Kamis, 29 Oktober 2015

MAKALAH PROSES KOGNITIF KOMPLEKS

MAKALAH
PROSES KOGNITIF KOMPLEKS



DISUSUN OLEH KELOMPOK VI
1.      THOMAS MBENU NULANGI      (15701251017)
2.      BANGUN HUTAMA WARDANA (15701251031)
3.      EVANA GINA SHANTIKA (15701251035)





PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI PENELITIAN DAN EVALUASI PENDIDIKAN (PEP)
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2015
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................ ii
DAFTAR ISI.............................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang.................................................................................................. 1
B.     Rumusan Masalah............................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN
A.    Pemahaman Konseptual dan Strategi Mengajarkan Konsep
1.      Apakah itu konsep................................................................................ 3
2.      Mempromosikan pembentukan konsep................................................ 4
B.     Beberapa Proses Berpikir dan Aplikasinya Untuk Pemecahan Masalah
1.      Proses Berpikir
a.         Apakah itu berfikir......................................................................... 5
b.        Penalaran........................................................................................ 6
c.         Berpikir kritis................................................................................. 8
d.        Pengambilan keputusan............................................................... 11
e.         Berpikir kreatif............................................................................. 12
2.      Pemecahan masalah
a.         Langkah-langkah pemecahan masalah........................................ 14
b.        Hambatan untuk memecahkan masalah....................................... 16
c.         Perubahan perkembangan............................................................ 17
d.        Pembelajaran berbasis masalah perkembangan berbasis proyek 18
C.     Cara Mentransfer dan Memperkuat Proses Berpikir Kompleks Untuk
Pemecahan Masalah
1.      Apakah itu transfer............................................................................. 20
2.      Jenis transfer....................................................................................... 21
3.      Praktik budaya dan transfer................................................................ 22
BAB III PENUTUP
      Kesimpulan........................................................................................................... 23
DAFTAR PUSTAKA
  
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas limpahan rahmat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah psikologi ini dengan baik. Pada makalah ini, kami menyajikan tema yang diberikan khusus oleh dosen yakni “ Proses Kognitif Kompleks”.
Makalah ini ditulis dengan tujuan agar para pembaca dapat memahami proses kognitif kompleks yang terjadi pada siswa. Selain itu, makalah ini juga disusun agar para guru ataupun calon guru dapat memberikan pemahaman konseptual yang baik kepada siswa sehingga para siswa dapat menyelesaikan masalahnya sendiri dengan lebih baik.
Dalam makalah ini menyajikan bagaimana cara yang baik dalam memberikan pemahaman konseptual kepada siswa, agar konsep yang diterima dapat membantu siswa dalam pemecahan masalah yang dihadapinya. Dengan konsep yang ada, para siswa dapat mentransfer konsep tersebut kepada teman lainnya. Sehingga sangat diharapkan agar para guru ataupun calon guru dapat memahami dengan baik cara memberikan pemahaman konseptual kepada siswa.
Kami juga menyadari bahwa makalah yang kami tulis ini masih memiliki banyak kekurangan, untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak untuk penyempurnaan makalah ini.
                                                                       
                                                                                                Jogjakarta, 18 Oktober 2015


                                                                                                            Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Berpikir adalah memanipulasi atau mengelola dan mentransformasi informasi dalam memori. Ini sering dilakukan untuk membentuk konsep, bernalar dan berpikir kritis, membuat keputusan, berpikir kreatif, dan memecahkan masalah. Siswa dapat berpikir tentang hal-hal yang konkret, seperti liburan ke pantai atau cara menang dalam permainan video game, atau apabila mreka sudah di usia sekolah menengah, mereka bisa berfikir tentang hal-hal yang lebih abstrak, seperti makna kebebasan atau identitas. Mereka dapat berpikir tentang masa lalu (seperti apa yang terjadi pada mereka bulan lalu), dan masa depan (seperti apa kehidupan mereka nanti di tahun 2020). Mereka dapat memikirkan realitas (seperti bgaimana ujian besok dengan lebih baik) dan rantasi (seperti apa rasanya menjadi seorang artis, atau tokoh politik seperti Jusuf Kalla atau naik pesawat luar angkasa  ke Mars, dll)
Proses berpikir berkaitan dengan tingkah laku dan memerlukan keterlibatan aktif pemikirnya. Produk berpikir seperti pikiran, pengetahuan, alasan, serta proses yang lebih tinggi seperti penilaian dapat juga dihasilkan. Kaitan kompleks dikembangkan melalui berpikir ketika digunakan sebagai bukti dari waktu ke waktu. Kaitan ini dapat dihubungkan pada struktur yang terorganisasi dan diekspresikan oleh pemikir dalam beragam cara. Jadi definisi ini menunjukkan bahwa berpikir merupakan suatu upaya kompleks dan reflektif dan juga pengalaman kreatif.
Kemampuan berpikir inilah yang merupakan faktor penting dalam proses pembelajaran siswa. Kemampuan berpikir seseorang dapat dikembangkan melalui belajar, bertanya terus pada diri sendiri, memiliki keinginan untuk menghasilkan sesuatu yang baru, berkemauan memanfaatkan sesuatu yang ada di sekitar, sehingga menghasilkan sesuatu yang berguna bagi dirinya maupun bagi orang lain. Kemampuan berpikir ini dimungkinkan untuk berkembang karena manusia memiliki rasa ingin tahu yang selalu terus berkembang. Berarti keterampilan berpikir setiap orang akan selalu berkembang dan dapat dipelajari. Depdiknas (2003) menegaskan salah satu kecakapan hidup (life skill) yang perlu dikembangkan melalui proses pendidikan adalah keterampilan berpikir. Berarti hal ini menunjukkan bahwa seseorang untuk dapat berhasil dalam kehidupannya antara lain ditentukan oleh keterampilan berpikirnya, terutama dalam upaya memecahkan masalah kehidupan yang dihadapinya.
Literatur baru tentang berpikir menyajikan daftar ganda tentang proses kognitif yang dapat dipertimbangkan sebagai keterampilan berpikir. Beyer menekankan pentingnya mendefinisikan keterampilan secara akurat dan menyarankan untuk mereview kerja para peneliti seperti Blo-om, Guilford, dan Feuerstein untuk menemukan definisi yang bermakna tentang berpikir. Agar tidak bingung membedakan proses seperti inkuiri dan mengingat sederhana. Beyer konsisten dengan para peneliti sebelumnya tentang proses kognitif, untuk membedakan keterampilan berpikir tingkat rendah, dan keterampilan berpikir kompleks. Sebagai contoh, ada perbedaan besar antara mendapatkan contoh identik dari insekta tertentu dengan menemukan perbedaan dari insekta yang sama. Tugas yang pertama melibatkan proses dasar mengidentifikasi dan membandingkan. Sedangkan tugas satunya lagi memerlukan tahap yang kompleks, canggih, berulang dan berurutan dari pemecahan masalah.

B.       Rumusan Masalah
Dalam makalah yang kami bahas ini, kami akan mengajukan beberapa rumusan masalah yang berkaitan dengan proses kognitif kompleks diantaranya:
1.      Apakah itu konsep ?
2.      Apa itu berpikir dan berpikir kreatif ?
3.      Berpikir dengan menggunakan penalaran ?
4.      Bagaimana Pemikiran Kritis ?
5.      Proses Membuat Keputusan?
6.      Pemecahan masalah (Problem Solving)
7.      Apakah itu transfer ?











BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pemahaman Konseptual dan Strategi Mengajarkan Konsep
Pemahaman konseptual merupakan aspek penting dari pembelajaran. Tujuan penting pengajaran adalah membantu siswa memahami konsep-konsep utama dalam subjek daripada hanya menghafal fakta terisolasi. Dalam banyak kasus, pemahaman konseptual ditingkatkan saat guru mengeksplorasi topik secara mendalam dan memberikan yang tepat, adalah contoh menarik dari konsep.

1.         Apakah Konsep
Istilah konsep berasal dari bahasa latin conceptum, yang artinya suatu yang dipahami. Aristoteles dalam “the classical theory of concept” menyatakan bahwa konsep merupakan penyususan utama dalam pembentukan ilmiah dan filsafat pemikiran manusia. Konsep adalah poin penting pemikiran. Konsep kelompok objek-objek, peristiwa, dan karakteristik berdasarkan properti umum. Konsep membantu Anda untuk menyederhanakan, meringkas, dan mengatur informasi (Quinn, 2009, 2011). Soedjadi (2000:14) konsep merupakan ide abstrak yang dapat digunakan untuk mengadakan klasifikasi atau penggolongan yang pada umumnya dinyatakan dengan suatu istilahatau rangkaian kata. Jika Anda tidak punya konsep, maka Anda akan menemukan masalah yang sebenarnya sepele menjadi sulit untuk dirumuskan dan bahkan tidak mungkin untuk dipecahkan. Tentu saja, konsep membantu siswa untuk memahami dunia (Chi & Brem, 2009; Oakes dkk, 2010). Konsep juga membantu proses mengingat, sehingga lebih efisien (Racine, 2011). Saat siswa mengelompokkan objek-objek untuk membentuk konsep, mereka dapat mengingat konsep, kemudian mengambi karakteristik konsep tersebut.
Konsep tidak hanya membantu untuk menyinggung memori, tetapi juga membuat komunikasi yang lebih efisien. Konsep membantu siswa untuk menyederhanakan dan meringkas informasi, serta meningkatkan efisiensi memori, komunikasi, dan penggunaan waktu. Siswa membentuk konsep melalui pengalaman langsung dengan benda-benda dan peristiwa dalam dunia mereka. Siswa juga membentuk konsep melalui pengalaman dengan simbol (hal-hal yang menyebabkan, atau mewakili, sesuatu yang lain). Beberapa konsep ada yang relatif sederhana, jelas, dan nyata. Sedangkan yang lain lebih kompleks, samar, dan abstrak.
2.         Mempromosikan Pembentukan Konsep
Guru dapat membimbing siswa untuk mengenali dan membentuk konsep efektif dalam beberapa cara. Proses ini diawali dengan fitur penting dari konsep yang diberikan. Dalam mengajar pembentukan konsep kepada anak-anak, akan sangat membantu untuk mendiskusikan dengan fitur penting dari konsep, definisi dan contoh konsep (misalnya, menggunakan strategi pengaturan), kategorisasi hierarki dan peta konsep, pengujian hipotesis, dan pencocokan prototipe.
a.       Belajar Mengenai Fitur Konsep
Aspek penting dari pembentukan konsep adalah belajar fitur penting, atribut, atau karakteristik dari konsep (Madole, Oakes, & Rakison, 2010; Racine, 2011). Hal tersebut mendefinisikan elemen konsep, dimensi yang membutuhkan beberapa dari konsep lain..
b.      Mendefinisikan Konsep dan Memberikan Contoh
Aspek penting dari konsep pengajaran adalah secara jelas mendefinisikan konsep dan memberikan contoh yang dipilih secara cermat. Strategi aturan contoh adalah cara yang efektif untuk melakukan hal ini  (Tennyson & Cocchiarella, 1986). Strategi ini terdiri atas empat langkah, sebagai berikut:
1)      Tentukan konsep. Selain mengidentifikasi fitur penting konsep atau karakteristik, hubungkan ke konsep atasan, yang merupakan kelas yang lebih besar ke konsep yang sesuai.
2)      Jelaskan istilah dalam definisi. Pastikan bahwa fitur atau karakteristik utama dipahami dengan baik.
3)      Berikan contoh untuk menggambarkan fitur atau karakteristik penting. Memberikan konsep selain contoh yang telah disebutkan merupakan strategi yang baik untuk mengajarkan pembentukan konsep. Lebih banyak contoh yang diperlukan saat Anda mengajarkan konsep-konsep yang kompleks dan saat Anda bekerja dengan peserta didik yang kurang memuaskan.
4)      Berikan contoh tambahan. Mintalah siswa untuk mengkategorikan konsep, menjelaskan kategori mereka, atau meminta mereka membuat contoh konsep sendiri.


c.       Kategorisasi Hierarki dan Peta Konsep
Pengategorian ini penting karena konsep yang dikategorikan membuat karakteristik dan fitur dari bagian kategori (Chi & Brem, 2009). Peta konsep adalah presentasi visual dari koneksi konsep dan organisasi hierarki. Pengarahan pada siswa untuk membuat peta fitur suatu konsep atau karakteristik, dapat membantu mereka untuk mempelajari konsep (Amadieu dkk, 2009). Anda dapat membuat peta konsep dengan bantuan siswa, atau membiarkan mereka memcoba mengembangkan secara individual atau dalam kelompok kecil.
d.      Pengujian Hipotesis
Siswa dapat mengambil manfaat dari praktik pengujian hipotesis untuk menentukan yang termasuk konsep atau tidak. Hipotesis adalah asumsi tertentu dan prediksi yang dapat diuji untuk menentukan akurasi konsep. Salah satu cara untuk mengembangkan hipotesis adalah berdasarkan aturan tentang alasan mengapa beberapa benda disebut konsep dan yang lainnya tidak. Bekerja sama dengan siswa Anda pada pengembangan strategi yang paling efisien untuk mengidentifikasi konsep yang benar.
e.       Pencocokan Prototipe
Dalam pencocokan prototipe, individu memutuskan apakah suatu hal adalah anggota kategori dengan membandingkannya dengan hal yang paling khas dari kategori (Rosch, 1973). Semakin mirip hal dengan prototipe, semakin besar kemungkinan orang akan mengatakan hal tersebut bagian dari kategori yang kurang mirip, maka semakin besar kemungkinan orang akan menilai bahwa hal tersebut tidak termasuk dalam kategori tersebut.

B.       Beberapa Proses Berpikir Dan Aplikasinya Untuk Pemecahan Masalah
1.      Proses Berpikir
a.         Apakah Berpikir
Berpikir adalah manipulasi dan mengubah informasi dalam memori. Jenis pemikiran  meliputi pembentukan konsep, penalaran, berpikir kritis, pengambilan keputusan, berpikir kreatif, dan pemecahan masalah.Berpikir adalah kegiatan mental dalam memecahkan masalah (Gagne, 1980).Johnson (2002); Krulik and Rudnick (1996) mengemukakan berpikir tingkat tinggi meliputi berpikir kreatif dan berpikir kritis. Berpikir kreatif (yang menjadi bahasan pada bahasan ini) adalah aktivitas mental untuk mengembangkan atau menemukan ide-ide asli (orisinil), estetis, konstruktif yang berhubungan dengan pandangan konsep, dan menekankan pada aspek berpikir intuitif dan rasional.
b.        Penalaran
Penalaran adalah pemikiran logis yang menggunakan induksi dan deduksi untuk mencapai kesimpulan.
1)        Penalaran Induktif
Penalaran dari hal spesifik ke umum adalah penalaran induktif. Penalaran tersebut terdiri atas penarikan kesimpulan (membentuk konsep) mengenai semua anggota kategori berdasarkan mengamati beberapa anggotanya (Goswani, 2011; Heit, 2008). Para peneliti telah menemukan bahwa keterampilan penalaran induktif sering merupakan prediksi yang baik dari prestasi akademik (Kinshuk & McNab, 2006). Penalaran induktif adalah penalaran dari hal-hal spesifik ke hal-hal yang bersifat umum, yakni mengambil kesimpulan (membentuk knsepp) tentang semua anggta kategori berdasarkan observasi dari beberapa anggota (Markman & Gentner, 2001). Misalknya saat murid di kelas sastra hanya membaca beberapa puisi Emily Dickinson, dan diminta menarik kesimpulan tentang sifat umum dari puisinya, maka dia diminta menggunakan penalaran induktif. Saat murid ditanya apakah konsep yang dipelajarai di kelas matematika berlaku untuk bidang lain, seperti bisnis atau sains, sekali lagi, dia harus menggunakan penalaran induktif. Riset psikologi pendidikan sering kali juga dilakukan dengan penaran induktif, mempelajari beberapa sampel untuk mengambil kesimpulan tentang populai dari sampel itu. Aspek penting dari penalaran induktif adalah pengamatan yang berulang. Berdasarkan pengamatan berulang, informasi tentang pengalaman yang sama terakumulasi ke titik bahwa pola berulang dapat dideteksi dan kesimpulan lebih akurat didapatkan tentang hal tersebut. Guru dapat membantu siswa untuk meningkatkan penalaran induktif dengan mempertimbangkan bahwa kesimpulan yang dihasilkan tergantung pada kualitas dan kuantitas dari informasi yang tersedia. Siswa sering melebih-lebihkan kesimpulan sehingga lebih pasti dari bukti yang ada. Mempertimbangkan aspek lain dari penalaran induktif, itu adalah dasar untuk analogi. Analogi adalah korespondensi antara hal-hal lain yang berbeda. Analogi dapat digunakan untuk meningkatkan pemahaman siswa tentang konsep-konsep baru dalam membandingkan dengan konsep yang sudah dipelajari.Misalnya, kita buat analogi antara komputer dan memori manusia. Salah satu tipe analogi menggunakan penalaran formil dan mempunyai empat bagian, dimana hubungan antara dua bagian pertama adalah sama atau sangant mirip dengan dua bagian terakhir. Misalnya, pecahkan analogi berikut ini, Beethoven adalah untuk musik sebagaimana Picasso untuk. Untuk menjawab dengan benar (seni), anda harus menemukan hubungan antara Beethoven dan musik (yang pertama menciptakan yang kedua) dan mengaplikasikan hubungan ini untuk Picasso (apa yang diciptakan Picasso?). Analogi dapat membantu memecahkan problem, terutama jika dipersentasikan secara visual.  Benjamin Franklin memberikan bahwa objek yang lebih lancip menghasilkan percikan listrik yang lebih kuat ketimbang objek yang tumpul saat keduanya diberi aliran listrik. Pada mulanya dia percaya bahwa ini adalah observasi yang tidak penting, tetapi kemudian dia menyadari bahwa sebuah objek yang analog tongkat lancipbisa dipakai untuk menarik petir (analogi untuk percikan listrik), dan karenanya bisa mengalihkan petir dari bangunan dan kapal.
Maka sala satu jenis analogi merupakan penalaran formal dan memiliki empat bagian, dengan hubungan antara dua bagian pertama, atau sangat mirip dengan, hubungan antara dua hal yang terakhir.
2)        Penalaran Deduktif
Berbeda dengan penalaran induktif, penalaran deduktif adalah penalaran dari umum ke khusus. Penalaran deduktif selalu spesifik, yaitu jika aturan awal atau asumsi ini benar, maka kesimpulannya akan benar (Ricco, 2011).Misalnya saatmemecahkan teka-teki, juga menggunakan penalaran deduktif. Ketikamempelajari aturan umum dan kemudian memahami bagaimana aturan itu berlaku dalam beberapa situasi tetapi tidak untuk situasi yang lain, maka anda melakukan penalaran deduktif. Saat para psikolog pendidikan menggunakan teori dan intuisi untuk membuat prediksi, kemudian mengevaluasi prediksi ini dengan menggunakan observasi lanjutan, maka mreka sedang menggunakan penalaran deduktif.Penalaran deduktif hampir selalu pasti dalam mengertian bahwa jika aturan atau asumsi awalnya benar, maka konklusinya akan mengikuti logika secara benar. Misalnya, jika kita semua tahu kaidah umum bahwa anjing menggonggong dan kucing mengeong (dan jika kaidah ini selalu benar), anda bisa mendeduksi dengan tepat apakah hewan piaraan tetangga anda yang tampak aneh adalah anjing atau kucing berdasarkan suara yang dikeluarkan hewan itu.
 Saat menggunakan teori dan instuisi untuk membuat prediksi, kemudian mengevaluasi prediksi ini dengan membuat pengamatan lebih lanjut, pendidik dan psikolog menggunakan penalaran deduktif. Banyak aspek penalaran deduktif yang telah dipelajari, termasuk kesempatan saat pengetahuan dan penalaran yang betentangan. Selama masa remaja, individu semakin mampu menalar deduktif bahkan saat alasan yang dipertimbangkan adalah palsu (Kuhn, 2009). Dari awal masa remaja sampai awal dewasa, individu meningkatkan kemampuannya untuk membuat kesimpulan akurat jika pengetahuan dan penalaran bertentangan. Artinya mereka bisa “menalar secara independen dari status kebenaran premis” (Kuhn & Franklin, 2006).
c.         Berpikir Kritis
Berpikir kritis adalah berpikir reflektif dan produktif, dan mengevaluasi bukti. Kesadaran adalah suatu konsep yang mencerminkan pemikiran kritis. Menurut Ellen Langer (1997, 2005), kesadaran penting untuk berpikir kritis. Kesadaran berarti menjadi waspada, hadir secara metal, dan kognitif fleksibel saat melalui kegiatan dan tugas hidup sehari-hari. Siswa yang sadar akan mempertahankan kesadaran aktif pada keadaan hidup mereka.
Siswa dengan kesadaran ialah siswa yang menciptakan ide-ide baru terbuka terhadap informasi baru, dan sadar lebih dari satu perspektif. Sebaliknya, siswa yang ceroboh akan terperangkap dalam ide-ide lama, terlibat dalam perilaku otomatis, dan beroperasi dari perspektif tunggal. Siswa yang ceroboh juga akan menerima hal yang pernah dibaca atau didengar tanpa mempertanyakan keakuratan informasi. Selain itu, siswa yang ceroboh akan terjebak dalm pola pikir yang kaku, tidak memperhitungkan kemungkinan variasi dalam konteks dan perspektif. Langer menekankan bahwa mengajukan pertanyaan yang baik adalah unsur penting dari pemikiran secara sadar. Ia juga menekankan bahwa penting untuk fokus dalam proses belajar daripada hasil. Dari sintesis yang telah dibahasmaka berpikir kritis bukan berarti menjadi kritis atau menjadi negatif. Berpikir kritis lebih tepat diartikan sebagai berpikir evaluatif. Hasil eva-luasi dapat berentang mulai dari positif menuju negatif, penerimaan me-nuju penolakan, atau apapun diantaranya. Menurut Ennis & Beyer berpi-kir kritis dapat didefinisikan sebagai memutuskan apa yang harus diyakini atau dilakukan secara masuk akal dan reflektif. Jadi berpikir kritis artinya membuat pertimbangan yang masuk akal. Berikut adalah contoh-contoh tentang berfikir kritis
a.         Berpikir Kritis di Sekolah
Berikut adalah beberapa cara guru agar membentuk pemikiran kritis dalam rencana pelajaran secara sadar:
a)    Menanyakan tidak hanya apa yang terjadi, tetapi juga “bagaimana” dan “mengapa”.
b)   Periksalah yang seharusnya “fakta” untuk menentukan apakah ada bukti untuk mendukung mereka.
c)    Berdebat dengan cara yang masuk akal daripada melalui emosi.
d)   Mengakui bahwa terkadang terdapat lebih dari satu jawaban atau penjelasan yang baik.
e)    Bandingkan berbagai jawaban atas pertanyaan dan putuskan jawaban yang benar-benar terbaik.
f)    Mengevaluasi dan mungkin mempertanyakan apa yang orang lain katakan daripada segera menerimanya sebagai kebenaran.
g)   Ajukan pertanyaan dan berspekulasi melalui apa yang sudah Anda ketahui untuk menciptakan ide-ide dan informasi baru.
Salah satu cara untuk mendorong siswa agar berpikir kritis adalah menyajikan topik kontroversial atau artikel yang berkaitan tentang kedua sisi dari suatu isu untuk dibahas. Berpikir kritis dipromosikan saat siswa menghadapi adu argumen dan perdebatan karena dapat memotivasi mereka untuk menggali topik lebih dalam dan berusaha untuk memecahkan masalah (Kuhn, 2009). Dalam situasi ini, siswa sering kali diuntungkan saat guru menahan diri atas pernyataan tentang pandangan sendiri, sehingga memungkinkan siswa lebih leluasa mengeksplorasi sisi yang berbeda dari isu dan berbagai perspektif pada topik. Berdasarkan banyak tugas yang mengharuskan siswa untuk fokus pada isu, pertanyaan, atau masalah bukan hanya membaca fakta-fakta, guru merangsang kemampuan siswa untuk berpikir kritis.

b.        Berpikir Kritis pada Masa Remaja
Masa remaja merupakan masa transisi yang penting dalam perkembangan berpikir kritis (Kuhn, 2009). Beberapa perubahan kognitif terjadi selama masas remaja yang memungkinkan peningkatan berpikir kritis, termasuk sebagai berikut (Keating, 1990):
a)    Peningkatan kecepatan, otomatisasi, dan kapasitas pengolahan informasi, yang membebaskan sumber daya kognitif untuk tujuan lain.
b)   Pengetahuan lainnya dalam berbagai domain.
c)    Kemampuan meningkat untuk membentuk kombinasi kemampuan baru.
d)   Rentang yang lebih besar dan penggunaan strategi atau prosedur lebih spontan seperti perencanaan, mempertimbangkan alternatif, dan pemantauan kognitif.
Jika dasar yang kuat dari keterampilan dasar (seperti membaca dan keterampilan matematika) tidak dikembangkan sejak masa kanak-kanak, keterampilan berpikir kritis  tidka mungkin berkembang pada masa remaja. Bagi remaja yang tidak memiliki keterampilan dasar, potensi keuntungan dalam pemikiran remaja adalah tidak mungkin.
c.         Berpikir Kritis dan Teknologi
David Jonassen (2006, 2010) berpendapat bahwa salah satu penggunaan terbaik dari teknologi dalam pendidikan, melibatkan aplikasi komputer agar siswa berpikir kritis mengenai isi bacaan yang dipelajari. Ia menyebutkan bahwa aplikasi seperti “alat pikiran”, dan melihatnya sebagai alat konstruktif yang disimpulkan oleh siswa terkait pengetahuan dan penalaran tentang isi pelajaran. Jonassen membedakan beberapa kategori alat pikiran, termasuk alat-alat semantik organisasi, alat pemodelan dinamis, alat interpretasi informasi, serta percakapan dan alat-alat kolaborasi.
Alat organisasi semantik seperti pusat data dan alat pemetaan konsep, membantu siswa mengatur, menganalisis, dan memvisualisasikan informasi yang dipelajari. Alat pemodelan dinamis membantu siswa mengeksplorasi hubungan antara konsep-konsep. Hal tersebut termasuk spreadsheet, sistem pakar, sistem alat pemodelan, dan microworlds. Alat interpretasi informasi membantu pelajar mengakses dan menginterpretasikan informasi, termasuk visualisasi dan alat-alat konstruksi pengetahuan. Misalnya, alat visualisasi adalah model visual dari fenomena yang kompleks agar lebih dipahami. Alat Pengetahuan konstruksi, seperti hypermedia, video pengeditan, atau program desain jaringan, konstruksi sistem siswa pada pengetahuan dalam berbagai bentuk.
Berbagai alat-alat percakapan digital dan kolaborasi, seperti e-mail, diskusi online, chatting, konferensi video, dan blog, memungkinkan siswa untuj berinteraksi dan berkolaborasi dengan para ahli dan siswa lain di seluruh dunia.
d.        Pengambilan Keputusan
Dalam penalaran deduktif, orang menggunakan kaidah yang jelas untuk mengambil kesimpulan. Sebaliknya saat kita membuat keputusan, kaidahnya jarang yang jelas dan kita mungkin hanya punya pengetahuan terbatas tentang konsekuensi dari keputusan itu (Gigenrenzer & Selton, 2001; Tversky & Fox, 1995). Selain itu, informasi penting mungkin tidak tersedia dan kita mungkin tidak bisa mempercayai semua informasi yang kita punya (Martlin, 2002).Luthans dan Davis (1996) mengemukakan bahwa, decision making is almost universally defined as choosing between alternatives. Artinya, bahwa secara umum pengertian dari pengambilan keputusan adalah me-milih di antara berbagai alternatif. Pengertian ini diperkuat oleh Garry Deslerr (2001) yang mengatakan bahwa, decision is a choice made bet-ween available alternatives. Ditinjau dari sudut pandang lain dinyatakan pula bahwa, decision making is the process of developing and analyzing alternatives and choosing from among them.Pengambilan keputusan adalah berpikir yang melibatkan evaluasi alternatif dan membuat pilihan. Salah satu jenis pengambilan keputusan adalah menimbang biaya dan manfaat dari berbagai hasil. Banyak prasangka (prasangka konfirmasi, kepercayaan ketekunan, prasangka terlalu percaya, dan prasangka pandangan masa lalu) dapat mengganggu pengambilan keputusan yang baik.
a.       Bias dan Kelemahan dalam Pengambilan Keputusan
Subyek berakibat lain dari penelitian pengambilan keputusan adalah bias dan cacat heuristis (aturan praktis) yang mempengaruhi kualitas keputusan (Baker, 2010; Pretz, 2008). Kelemahan umum melibatkan bias konfirmasi, ketekunan kepercayaan, bias terlalu percaya diri, bias masa lalu, dan ketersediaan dan perwakilan heuristis. Pengambilan keputusan ditingkatkan saat Anda menyadari ini merupakan kekurangan potensial.
b.      Bias Konfirmasi
Salah satu jenis prasangka adalah bias konfirmasi, cenderung mencari dan menggunakan informasi yang mendukung ide-ide Anda bukan membantahnya. Dengan demikian, dalam membuat keputusan, seorang siswa mungkin memiliki keyakinan awal bahwa pendekatan tertentu dalam bekerja. Ia menguji pendekatan dan menemukan bahwa itu tidak bekerja pada beberapa waktu. Ia menyimpulkan bahwa pendekatannya tepat, daripada mengeksplorasi fakta lebih lanjut bahwa dalam sejumlah kasus tidak bekerja. Anda cenderung mencari dan mendengarkan orang-orang dengan pandangan mengonfirmasi pendapat anda daripada mendengarkan pandangan yang berbeda pendapat (Kerschreiter dkk, 2008).
c.       Ketekunan Kepercayaan
Terkait erat dengan prasangka konfirmasi, ketekunan kepercayaan adalah kecenderungan untuk berpegang pada keyakinan dalam menghadapi bukti yang bertentangan. Orang-orang memiliki kesulitan dalam melepaskan ide atau strategi setelah meyakininya (Stanovich, 2010).
d.      Bias Terlalu Percaya Diri
Bias terlalu percaya diri adalah kecenderungan dalam memiliki kepercayaan diri yang berlebihan dalam penilaian dan keputusan daripada yang seharusnya, berdasarkan probabilitas dan pengalaman masa lalu.
e.       Bias Masa Lalu
Bias masa lalu adalah kecenderungan  untuk melaporkan secara salah, setelah fakta, bahwa Anda secara akurat memprediksi kejadian.
f.        Pengambilan Keputusan di Masa Remaja
Masa remaja adalah masa peningkatan pengambilan keputusan. Remaja yang lebih tua sering membuat keputusan yang lebih baik daripada remaja yang lebih muda, yang lebih baik saat ini daripada anak-anak. Kebanyakan orang membuat keputusan yang lebih baik saat mereka tenang daripada dalam keadaan emosional, terutama pada remaja (Steinberg dkk, 2009). Konteks sosial juga berperan penting dalam pengambilan keputusan remaja (Wray-Lake, Crouter, & McHale, 2010).
e.       Berpikir Kreatif
Aspek penting dari pemikiran adalah berpikir kreatif (Baghetto & Kaufman, 2010; Sternberg, 2009, 2010a, b). Kreativitas adalah kemampuan untuk berpikir tentang cara baru, dan tidak biasa, dan datang dengan solusi yang unik. JP Guilford (1967) membedakan antara berpikir konvergen (yang menghasilkan satu jawaban yang benar dan karakteristik dari jenis pemikiran yang diperlukan pada ujian kecerdasan konvensional) dan berpikir divergen (yang menghasilkan banyak jawaban untuk pertanyaan yang sama dan karakteristik kreativitas). Meskipun siswa paling kreatif adalah cukup cerdas, tetapi sebaliknya belum tentu benar.
1)        Langkah-Langkah dalam Proses Kreatif
Proses kreatif sering digambarkan sebagai urutan lima langkah, meskipun siswa tidak selalu mengikuti urutan yang sama:
a)      Persiapan. Siswa tenggelam dalam isu masalah yang membuat mereka tertarik dan rasa ingin tahu mereka muncul.
b)      Inkubasi. Siswa mengelola ide di kepala mereka, titik di mana mereka cenderung membuat beberapa koneksi yang tidak biasa dalm pemikiran mereka.
c)      Wawasan. Siswa mengalami momen “Aha!” saat semua potongan teka-teki terlihat cocok satu sama lain.
d)      Evaluasi. Sekarang, siswa harus memutuskan tentang suatu ide yang berharga dan layak dikejar. Mereka harus berpikir. “Apakah ide baru atau sudah jelas?”
e)      Elaborasi. Langkah terakhir sering meliputi rentang waktu terpanjang dan melibatkan pekerjaan paling sulit. Langkah ini adalah yang dipikirkan oleh penemu asal Amerika, Thomas Edison, saat ia mengatakan bahwa kreativitas adalah 1 persen inspirasi dan 99 persen keringat.
2)        Pengajaran dan Kreativitas
Tujuan penting pengajaran adalah membantu siswa menjadi lebih kreatif (Kaufman & Sternberg, 2010; Sternberg, 2009, 2010a, b, c). Guru perlu menyadari bahwa siswa akan lebih menunjukkan kreativitas dalam beberapa domain daripada yang lain (Skiba dkk, 2010). Seorang siswa yang menunjukkan keterampilan kreatif misalnya, berpikir secara matematis mungkin tidak ditunjukkan pada keterampilan kesenian. Desain sekolah dan ruang kelas dapat mempengaruhi kreativitas siswa (Baghetto & Kaufman, 2009). Lingkungan sekolah yang mendorong bekerja secara independen, yang merangsang tetapi tidak mengganggu, dan membuat sumber daya tersedia cenderung mendorong kreativitas siswa. Siswa juga akan sangat beruntung jika Anda adalah seorang pemikir kratif dan terlibat dalam proses pengajaran sehari-sehari Anda secara kreatif.
Berikut adalah beberapa cara guru dapat menumbuhkan kreativitas dalam diri siswa: mendorong pemikiran kreatif pada kelompok dan secara individual, menyediakan lingkungan yang menyediakan kreativitas, jangan terlalu mengontrol siswa, mendorong motivasi internal, mendorong agar berpikir fleksibel, membentuk kepercayaan diri siswa, mendorong siswa untuk berani mengambil resiko, membimbing siswa agar gigih dan menunda gratifikasi, san memperkenalkan siswa pada orang-orang kreatif.
2.         Pemecahan Masalah
Pemecahan masalah adalah menemukan cara yang tepat untuk mencapai tujuan. Pertimbangkan tugas yang mengharuskan siswa untuk terlibat dalam pemecahan masalah.Memecahkan masalah melibatkan aktivitas seperti menggunakan proses berpikir dasar untuk memecahkan kesulitan tertentu, merakit fakta tentang informasi tambahan yang diperlukan, memprediksi atau menyarankan alternatif solusi dan menguji ketepatannya, mereduksi ke tingkat penjelasan yang lebih sederhana, mengeliminasi kesenjangan, memberi uji solusi ke arah nilai yang dapat digeneralisasi.
a.              Langkah-Langkah Dalam Pemecahan Masalah
Upaya telah dilakukan untuk menentukan langkah-langkah yang dilalui oleh individu secara efektif dalam memecahkan masalah. Berikut adalah empat langkah tersebut (Bransford & Stein, 1993):
a.       Carilah dan Bingkai Masalah
Sebelum memecahkan masalah, Anda harus menyadari bahwa masalah tersebut ada (Mayaer, 2008). Di masa lalu sebagian besar latihan pemecahan masalah di sekolah adalah masalah yang didefinisikan dengan baik oleh mereka sendiri secara spesifik dan sistematis yang menghasilkan solusi yang jelas. Saat ini, Pendidik semakin menyadari kebutuhan untuk mengajar keterampilan dunia nyata kepada siswa untuk mengidentifikasi masalah, bukan hanya menawarkan masalah yang jelas untuk dipecahkan (Chen, 2010; Laxman, 2010). Diperlukan eksplorasi yang cukup dan perbaikan bagi siswa untuk mempersempit masalah ke titik yang menghasilkan solusi spesifik. Penjelajahan alternatif tersebut merupakan bagian penting dari pemecahan masalah.
b.      Mengembangkan Strategi Pemecahan Masalah yang Baik
Setelah menemukan masalah dan secara jelas mendefinisikannya, siswa perlu mengembangkan strategi untuk menyelesaikannya (Quiamzade, Mugny, & Darnon, 2009; Yu, Dia, & Lee, 2010). Dia antara strategi yang efektif, terdapat pengaturan sub tujuan dan penggunaan algoritma, heuristis, serta analis rata-rata akhir.
1)   Sub-tujuan adalah menetapkan tujuan menengah yang menempatkan siswa dalam posisi yang lenih baik untuk mencapai tujuan akhir atau solusi. Siswa mungkin melakukan hal buruk dalam memecahkan masalah karena mereka tidak menghasilkan sub-masalah atau sub-tujuan. Perhatikan bahwa dalam membentuk sub-tujuan, Anda bekerja mundur dalam waktu. Hal ini sering kali merupakan strategi yang baik. Siswa terlebih dahulu membuat sub-tujuan paling dekat dengan tujuan akhir, dan kemudian bekerja mundur ke sub-tujuan paling dekat dengan awal upaya pemecahan masalah.
2)   Algoritma adalah strategi yang menjamin solusi masalah. Algoritma ada dalam berbagai bentuk, seperti formula, instruksi, dan ujian yang menjadi kemungkinan solusi. Saat siswa memecahkan masalah perkalian atau pembagian panjang dengan prosedur yang ditetapkan, mereka menggunakan algoritma (Martin, 2009). Saat mengikuti petunjuk untuk diagram kalimat, mereka menggunakan algoritma. Algoritma membantu dalam memecahkan masalah yang jelas (Lau & Yuen, 2010).
3)   Heuristis adalah strategi atau aturan baku yang dapat menyarankan solusi masalah, tetapi tidak menjamin akan bekerja. Heuristis membantu Anda untuk mempersempit kemungkinan solusi dan membantu Anda dalam menemukan satu yang bekerja (Acar, Turkmen, & Roychoudhury, 2010). Dalam menghadapi ujian pilihan ganda, beberapa heuristis dapat berguna. Misalnya, jika Anda tidak yakin tentang jawaban, Anda bisa mulai dengan mencoba untuk menghilangkan jawaban yang terlihat paling tidak mungkin, dan kemudian menebak antara yang tersisa. Selain itu, untuk petunjuk tentang jawaban atas satu pertanyaan, Anda dapat memeriksa pernyataan atau menjawab pilihan untuk pertanyaan lain pada ujian.
4)   Analisis rata-rata akhir adalah heuristis yang mengidentifikasi tujuan (akhir) dari masalah, menilai situasi saat ini, dan mengevaluasi yang perlu dilakukan (sarana) untuk mengurangi perbedaan antara dua kondisi. Nama lain dari analisis rata-rata akhir adalah  pengurangan perbedaan. Analisis rata-rata akhir juga dapat melibatkan penggunaan sub-tujuan. Analisis rata-rata akhir umumnya digunakan dalam memecahkan masalah.
c.       Evaluasi Solusi
Setelah berpikir bahwa Anda telah memecahkan masalah, Anda mungkin tidak tahu mengenai keefektifan solusi, kecuali Anda mengevaluasinya. Hal tersebut menyebabkan sesuatu untuk memiliki pikiran kriteria yang jelas dalam efektivitas solusi.
d.      Pemikiran dan Definisi Masalah dan Solusi dari Waktu ke Waktu
Langkah terakhir penting dalam pemecahan masalah adalah untuk terus memikirkan kembali dan mendefinisikan masalah dan solusi dari waktu ke waktu (Bereiter & Scardamalia, 2006). Orang yang pandai memecahkan masalah, termotivasi untuk mempebaiki kinerja masa lalu dan membuat kontribusi yang asli.
b.      Hambatan Untuk Memecahkan Masalah
Beberapa kendala umum dalam memecahkan masalah adalah fiksasi, kurangnya motivasi atau ketekunan, dan pengendalian emosi yang tidak memadai.
a.    Fiksasi
Sangat mudah untuk jatuh ke perangkap dan terpaku pada strategi tertentu untuk memecahkan masalah. Fiksasi adalah menggunakan strategi sebelumnya dan gagal untuk melihat masalah dari perspektif baru yang segar. Fiksasi fungsional adalah jenis fiksasi saat seorang individu gagal untuk memecahkan masalah karena memandang unsur-unsur yang terlibat hanya dalam hal fungsi biasa saja. Seorang siswa yang menggunakan sepatu untuk memalu paku telah mengatasi fiksasi fungsional untuk memecahkan masalah.
Set mental adalah jenis fiksasi saat seorang individu mencoba untuk memecahkan masalah dengan cara tertentu yang telah bekerja di masa lalu. Misalnya, saat Anda  memiliki seperangkat jiwa mengenai penggunaan mesin tik ketimbang komputer untuk menulis buku. Anda merasa nyaman dengan mesin tik dan tidak pernah melewatkan setiap bagian yang anda tulis. Butuh waktu lama bagi Anda untuk keluar dari set mental ini. Setelah melakukannya, Anda menemukan bahwa buku lebih mudah ditulis dengan komputer. Anda mungkin memiliki satu set mental yang sama terhadap penggunaan komputer dan video teknologi baru yang tersedia untuk penggunaan di kelas. Strategi yang baik adalah tetap berpikiran terbuka mengenai perubahan tersebut dan memantau apakah set mental Anda adalah menjaga dalam mencoba teknologi baru yang dapat membuat kelas lebih menarik dan lebih produktif.
b.    Kurangnya Motivasi atau Ketekunan
Bahkan, jika siswa telah memiliki kemampuan besar pemecahan masalah, hampir tidak penting jika mereka tidak termotivasi untuk menggunakannya (Perry, Turner, & Meyer, 2006). Hal ini terutama penting bagi siswa secara internal termotivasi untuk mengatasi masalah dan bertahan dalam menemukan solusi. Beberapa siswa menghindari masalah dan menyerah terlalu mudah.
Tugas penting bagi guru adalah menyusun atau mengarahkan siswa menuju masalah yang berarti bagi mereka, kemudian mendorong dan mendukung mereka dalam mencari solusi. Siswa jauh lebih termotivasi untuk memecahkan masalah yang dapat berhubungan dengan kehidupan pribadi mereka daripada masalah buku yang tidak memiliki makna pribadi bagi mereka. Pembelajaran berbasis masalah membawa pendekatan personel ke dunia nyata (Baturay & Bay, 2010; Kumar, 2010).
c.    Pengendalian Emosional yang Tidak Memadai
Emosi dapat menghambat pemecahan masalah. Pemecahan masalah yang baik tidak hanya motivasi tinggi, tetapi juga mampu mengendalikan emosi mereka, dan dengan demikian berkonsentrasi pada solusi masalah (Kuhn, 2009). Kecemasan atau takut dapat membatasi kemampuan siswa untuk memecahkan masalah. Individu yang kompeten di pemecahan masalah biasanya tidak takut membuat kesalahan.
c.       Perubahan Perkembangan
Anak-anak memiliki beberapa kelemahan yang mencegah mereka dalam memecahkan banyak masalah secara efektif. Hal yang utama adalah kurangnya perencanaan, yang meningkat selama bertahun-tahun pada sekolah dasar dan menengah. Di antara alasan untuk keterampilan perencanaan yang buruk dari anak-anak adalah cenderung mencoba untuk memecahkan masalah terlalu cepat dengan mengorbankan akurasi dan ketidakmampuan mereka untuk menghambat aktivitas. Perencanaan sering dibutuhkan dalam menghambat perilaku saat ini untuk berhenti dan berpikir, anak-anak pra sekolah sering mengalami kesulitan dalam menghambat perilaku yang sedang berlangsung, terutama jika menyenangkan (Bjorklund, 2005). Kelemahan lain dari kemampuan pemecahan masalah anak-anak adalah meskipun mereka mungkin tahu aturan, mereka gagal untuk menggunakannya.
Alasan lain bahwa anak-anak dan remaja menjadi pemecah masalah yang lebih baik daripada anak-anak yang lebih muda adalah pengetahuan dan strategi (Bjorklund, 2011; Martinez, 2010). Permasalahan yang harus dipecahkan oleh anak-anak dan remaja, sering lebih kompleks daripada yang dihadapi oleh anak-anak yang lebih muda, dan memecahkan masalah secara akurat ini biasanya membutuhkan akumulasi pengetahuan. Semakin banyak anak tahu mengenai topik tertentu, semakin baik mereka akan dapat memecahkan masalah yang berkaitan dengan topik. Penggunaan strategi anak-anak meningkat saat usia mereka bertambah. Terutama yang penting dalam menggunakan strategi untuk memecahkan masalah, adalah dengan memiliki berbagai strategi untuk dipilih, dan kisaran ini meningkat selama tahun-tahun sekolah dasar dan menengah. Remaja memiliki peningkatan kapasitas untuk memonitor dan mengelola sumber daya mereka agar secara efektif memenuh tuntutan tugas pemecahan masalah (Kuhn, 2009). Remaja juga lebih baik daripada anak-anak dalam menyaring informasi yang tidak relevan untuk memecahkan masalah (Kuhn, 2009).
d.      Pembelajaran Berbasis Masalah Dan Pembelajaran Berbasis Proyek
a.        Pembelajaran Berbasis Masalah
Penekanan dalam pembelajaran berbasis masalah adalah pada pemecahan masalah autentik seperti yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari (Donnelly, 2010; Hung, 2009). Ada siswa yang memecahkan masalah berkaitan dengan membayangkan, merencanakan, menerapkan pameran, merancang video, dan membuat program. Tidak seperti instruksi langsung saat guru menyajikan gagasan serta menunjukkan keterampilan, dalam pembelajaran berbasis masalah, guru mengorientasikan siswa untuk masalah atau masalah dan mendapatkan siswa untuk mengeksplorasi dan menemukan solusi sendiri (Aends, 2004). Pembelajaran berbasis masalah sangat efektif untuk membantu siswa dalam mengembangkan kepercayaan diri dan menghasilkan kemampuan berpikir sendiri.
Aliran umum pembelajaran berbasis masalah terdiri atas lima tahap (Arends, 2004):
1)      Megorientasikan siswa untuk masalah ini.
2)      Mengatur siswa untuk belajar.
3)      Membuat penyelidikan independen dan kelompok.
4)      Mengembangkan dan menyajikan artefak dan pameran.
5)      Menganalisis dan mengevaluasi kerja.
b.             Pembelajaran Berbasis Proyek
Dalam pembelajaran berbasis proyek, siswa bekerja secara nyata, masalah yang berarti dan menciptakan produk nyata (Gutherie, 2010; van Rooij, 2009). Pembelajaran berbasis proyek dan pembelajaran berbasis masalah, terkadang diperlakukan sebagai sinonim. Tetapi, seentara masih menekankan proses belajar secara konstruktivis, pembelajaran berbasis proyek memberikan ekstra perhatian terhadap produk akhir dari pembelajaran berbasis masalah (Bereiter & Scardamalia, 2006). Jenis-jenis masalah dieksplorasi dalam pembelajaran berbasis proyek adalah sama dengan yang dipelajari oleh para ilmuwan, matematikawan, sejarawan, penulis, dan profesional lainnya (Bell, 2010; Kanter, 2010).
Lingkungan belajar berbasis proyek yang ditandai dengan lima fitur utama (Krajcik & Blumenfeld, 2006):
1.    Pertanyaan yang mengarahkan. Proses pembelajaran dimulai dengan suatu pertanyaan penting atau masalah yang perlu diselesaikan.
2.    Autentik, letak penyelidikan. Saat meneliti pertanyaan penting siswa belajar tenetang proses pemecahan masalah oleh para ahli terhadap kedisiplinan dalam konteks yang relevan.
3.    Kolaborasi. Siswa, guru, dan peserta masyarakat bekerja sama untuk mencari solusi masalah ini.
4.    Suatu sistem. Teknologi pembelajaran digunakan untuk menantang siswa dalam melampaui yang biasanaya pada konteks pemecahan masalah.
5.    Produk akhir. Siswa membuat produk akhir secara nyata yang membahas kunci dan mengarahkan pertanyaan.
Tujuan penting kognitif kompleks bagi siswa untuk menerapkan yang dipelajari dalam satu situasi ke situasi baru (Banich & Caccamise, 2010; Stahl, 2010). Tujuan penting dari sekolah adalah siswa belajar hal-hal yang dapat diterapkan di luar kelas. Sekolah tidak berfungsi secara efektif jika siswa melakukannya dengan baik pada ujian di seni bahasa, tetapi tidak dapat menulis surat yang kompeten sebagai bagian dari aplikasi pekerjaan. Sekolah juga tidak efektif mendidik siswa jika siswa melakukannya dengan baik pada ujian matematika di kelas, tetapi tidak dapat memecahkan masalah aritmatika pada pekerjaan.

C.      Cara Mentransfer dan Memperkuat Proses Berpikir Kompleks Untuk Pemecahan Masalah
1.         Apakah Transfer
Transfer terjadi jika seseorang menerapkan pengalaman dan pengetahuan sebelumnya untuk belajar atau memecahkan masalah dalam situasi baru (Mayer, 2008). Siswa mengambil manfaat saat dapat menerapkan yang dipelajari di kelas untuk situasi kehidupan mereka di luar kelas. Jadi, jika seorang siswa belajar konsep dalam matematika, kemudian menggunakan konsep ini untuk memecahkan masalah dalam ilmu pengetahuan, maka transfer telah terjadi. Hal ini juga terjadi jika seorang siswa membaca dan studi tentang konsep keadilan di sekolah, kemudian memperlakukan orang lain lebih adil di luar kelas.
Beberapa strategi yang dapat meningkatkan transfer termasuk memberikan dua atau lebih konsep karena satu sering tidak cukup, memberikan representasi atau model kepada siswa, seperti matriks, yang membantu mereka untuk menyusun kegiatan pemecahan masalah, dan mendorong siswa untuk menghasilkan lebih banyak informasi sendiri serta meningkatkan ingatan yang perlu ditransfer (Sears, 2008). Strategi lain untuk meningkatkan transfer adalah memberikan kasus kontras yang terstruktur dengan baik kepada siswa, dan mereka mencoba untuk menemukan solusinya sebelum kuliah tentang solusi ahli. Idenya adalah dengan terlebih dahulu menciptakan solusi, siswa membawa pengetahuan sebelumnya untuk memecahkan masalah dan membuat koneksi ke fitur masalah. Saat mereka melihat solusi ahli dan kaitan fitur penting satu sama lain, para siswa harus lebih memahami cara kerjanya, dan dengan demikian, mentransfer lebih baik di masa depan.

2.         Jenis Transfer
Transfer dapat dicirikan sebagai (1) dekat atau jauh, dan (2) jalan rendah atau jalan tinggi (Schunk, 2011).
a.              Transfer Dekat atau Jauh
Dalam transfer dekat, situasi pembelajaran di kelas mirip saat pembelajaran awal berlangsung. Sevagai contoh, jika seorang guru geometri menginstruksikan kepada siswa dengan cara logis untuk membuktikan konsep, kemudian menguji siswa pada logika ini dalam pengaturan yang sama saat mereka belajar konsep, transfer dekat terlibat.
Transfer jauh berarti transfer belajar situasi yang sangat berbeda dari yang saat pembelajaran awal berlangsung. Misalnya, jika seorang siswa mendapat pekerjaan paruh waktu di suatu kantor arsitek dan menerapkan yang dipelajarinya di kelas geometri untuk membantu arsitek dalam menganalisis masalah spasial yang berbeda dari masalah yang dihadapi di kelas geometri, transfer jauh telah terjadi.
b.             Transfer Jalan Rendah atau Jalan Tinggi
Gabriel salomon dan david Parkins (1989) membedakan antara pengalihan jalan-rendah dan jalan-tinggi. Transfer jalan-rendah terjadi saat pembelajaran sebelumnya secara otomatis, sering secara tidak sadar, transfer ke situasi laian. Hal ini terjadi biasanya dengan keterampilan yang dipraktikkan saat ada sedikit kebutuhan untuk berpikir reflektif. Misalnya, saat pembaca yang kompeten menemukan kalimat baru dalam bahasa ibu mereka, mereka membacanya otomatis.
Sebaliknya, transfer jalan-tinggi sadar dan berusaha. Siswa sadar untuk membentuk hubungan antara yang dipelajarinya dalam situasi sebelumnya dan situasi baru dihadapi. Transfer jalan-tinggi penuh kesadaran, yaitu siswa menyadari yang dilakukannya dan berpikir tentang hubungan anatara konteks. Transfer jalan-tinggi menyiratkan keabstrakan aturan umum atau prinsip dari pengalaman sebelumnya, kemudian menerapkannya pada masalah baru dalam konteks bau. Sebagai contoh, siswa bisa belajar tentang konsep sub-tujuan (menetapkan tujuan menengah) di kelas matematika. Beberapa bulan kemudian, salah satu siswa berpikir tentang sub-tujuan yang bisa membantunya dalam menyelesaikan pekerjaan rumah yang panjang dalam sejarah. Ini adalah transfer jalan-tinggi.
Salomon dan Parkins (1989) membagi transfer jalan-tinggi ke transfer jangkauan ke depan dan transfer jangkauan ke masa lalu. Transfer jangkauan ke depan terjadi saat siswa berpikir tentang cara mereka menerapkan yang telah dipelajari dengan situasi baru (dari situasi mereka saat ini, mereka melihat “maju” untuk menerapkan informasi ke situasi baru di depan). Untuk transfer jangkauan ke depan berlangsung siswa harus tahu sesuatu tentang situasi transfer pembelajaran. Sedangkan transfer jangkauan ke belakang terjadi saat siswa melihat kembali ke situasi sebelumnya (”lama”) untuk informasi yang akan memecahkan masalah dalam konteks baru.
3.         Praktik Budaya Dan Transfer
Praktik-praktik budaya dapat mempengaruhi cara transfer menjadi mudah atau sulit. Pengetahuan sebelumnya, meliputi berbagai jenis pengetahuan yang diperoleh peserta didik melalui pengalaman budaya, seperti melibatkan etnis, status sosial-ekonomi, dan gender (Dewan Riset Nasional, 1999). Pada beberapa kasus, pengetahuan budaya ini dapat mendukung pembelajaran anak-anak dan memfasilitasi pemindahan, tetapi juga dapat mengganggu (Cole, 2006; Greenfield dkk, 2006). Untuk anak-anak dari beberapa latar belakang budaya, terdapat kecocokan atau transfer minimal antara yang dipelajari di komunitas asal dan yang dibutuhkan atau diajarkan oleh sekolah.
Salah satu model untuk strategi mengajar yang akan menggeneralisasi terdiri atas tiga tahap untuk meningkatkan pemindahan (Phye & Sanders, 1994). Pada tahap awal akuisisi, siswa diberi informasi mengenai pentingnya strategi, dan cara menggunakannya, serta kesempatan untuk berlatih dan praktik menggunakannya. Pada tahap kedua, yang disebut retensi, siswa mendapatkan lebih banyak latihan dalam menggunakan strategi, dan memeriksa ingatan mereka tentang menggunakan strategi tersebut. Pada fase ketiga, transfer, siswa ddiberi masalah baru ntuk dipecahkan. Masalah-masalah ini mengharuskan mereka untuk menggunakan strategi yang sama, tetapi di permukaan masalah baru tampil berbeda.






BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Pemahaman terhadap konsep merupakan aspek penting dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu, pemahaman konsep harus diajarkan oleh guru kepada siswa dalam kegiatan belajar mengajar. Dengan demikian siswa dapat mendefinisikan obyek yang ada dalam kehidupan sehari-hari dengan pemahaman konsep yang dibangunnya sendiri. Siswa diharapkan tidak hanya dapat menghafalkan sesuatu obyek berdasarkan pengetahuan yang sudah terpola, tetapi siswa juga mampu mendeskripsikan obyek dengan penalarannya sendiri.
Dalam hal membantu siswa untuk memahami konsep suatu obyek, guru juga harus mampu membantu mengajarkan kepada siswa agar dapat menjadi pemikir yang baik. Sebab dengan proses berpikir yang baik, siswa dapat membentuk konsep, bernalar dan berpikir secara kritis, membuat keputusan, berpikir kreatif, dan dapat memecahkan masalahnya sendiri.
Hal yang sangat diharapkan dari efek perlakuan tersebut adalah siswa dapat memecahkan masalahnya sendiri dengan lebih baik. Kemampuan siswa dalam memecahkan masalah menjadi ukuran keberhasilan seorang guru dalam mengajarkan pemahaman konsep dan proses berpikir yang baik. Selain itu, hal yang tidak kalah penting dalam pemahaman konsep adalah bagaimana guru dapat membantu siswa untuk mentransferkan konsep yang dimilikinya. Transfer dalam pemahaman konseptual dapat diartikan sebagai, kemampuan sorang siswa dalam mengaktualisasikan konsep yang dimiliki kedalam situasi yang baru dan nyata. Dan pada titik ini, ketika siswa mampu mentransferkan konsep yang dimilikinya, maka itu merupakan ukuran keberhasilan guru dalam membangun pemahaman konsep kepada siswa. Dengan kata lain, keberhasilan seorang guru dalam memberikan pemahaman konseptual kepada siswa tergantung dari apakah siswa tersebut dapat mentransferkan konsep yang dimiliki atau tidak.
Antara pemahaman konseptual, proses berpikir, pemecahan masalah, dan transfer merupakan empat tahapan dalam proses kognitif kompleks yang saling berhubungan satu sama lain. Tidak dibenarkan jika salah satu tahapan dari proses kognitif kompleks dilewatkan begitu saja. Semua harus diajarkan secara kompleks agar siswa dapat dapat lebih baik dalam memecahkan masalahnya sendiri.































DAFTAR PUSTAKA


Baer, J. 1993. Creativity and Divergent Thinking: A Task Specific Approach. London: Lawrence Erlbaum Associates Publisher.
Hadis, Abdul. 2006. Psikologi Dalam Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Santrock, John W. 2014. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Salemba Humanika.
Uno, Hamzah B., Orientasi Baru Dalam Psikologi Pembelajaran. Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2006.
Winkel, W. S. 2004.  Psikologi Pengajaran cet. 6. Yogyakarta: Media Abadi.
http://aguslistiyono.blogspot.com/2010/10/berpikir-tingkat-tinggi-higher-order.html