VARIASI
INDIVIDUAL

Di susun oleh :
1.
Anggarwati
Riscaputantri ( 15701251009 )
2.
Ajeng
Wahyuni
3.
Ahmad Niayatulloh ( 15701259001)
PSIKOLOGI
PENDIDIKAN
PENELITIAN
DAN EVALUASI PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
NEGERI YOGYAKARTA
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Individu
adalah sesuatu kesatuan yang memiliki ciri khasnya masing-masing, dan karena
itu tidak ada individu yang sama persis meskipun kembar, satu dengan yang
lainya berbeda. Ini dapat dikatakan sebagai kepastian, keragaman individu bukan
keseragaman. Sifat individual adalah sifat yang berkaitan dengan orang
perseorangan,berkaitan dengan perbedaan individual perseorangan. Ciri dan sifat
orang yang satuberbeda dengan yang lain. Perbedaan ini disebut perbedaan
individu atau perbedaan individual. Hal ini .sebagaimana dikatakanoleh Landgren (1980:
578) perbedaan individu itu menyangkut variasi yang terjadi, baik
variasi pada aspek fisik-motorik, kognitif, maupun sosio-emosional.
Setiap
individu adalah unik. Artinya setiap individu memiliki perbedaan antarayang
satu dengan yang lain. Perbedaan tersebut bermacam-macam, mulai dariperbedaan
fisik, pola berpikir dan cara-cara merespon atau mempelajari hal-hal baru.Dalam
hal belajar, masing-masing individu memiliki kelebihan dan kekurangan
dalammenyerap pelajaran yang diberikan. Oleh karena itu dalam dunia pendidikan
dikenalberbagai metode untuk dapat memenuhi tuntutan perbedaan individu
tersebut. Dinegara-negara maju sistem pendidikan bahkan dibuat sedemikian rupa
sehinggaindividu dapat dengan bebas memilih pola pendidikan yang sesuai
dengankarakteristik dirinya.
Pada
dasarnya tiap individu merupakan satu kesatuan, yang berbeda antarasatu dengan
yang lainnya. Perbedaan itu dapat dilihat dari dua segi, yakni horizontaldan
vertical. Perbedaan segi horizontal adalah perbedaan individu dalam
aspekmental, seperti tingkat kesadaran, bakat, minat, ingatan, emosi, dan
sebagainya.Perbedaan vertikal adalah perbedaan individu dalam aspek jasmaniah,
seperti:bentuk, tinggi dan besarnya badan, tenaga, dan sebagainya.
Masing-masing
aspek individu tersebut besar pengaruhnya terhadap kegiatan dan keberhasilan
belajar.Perbedaan individual disebabkan oleh dua faktor, ialah faktor keturunan
atau bawaan kelahiran, dan faktor pengaruh lingkungan. Kedua faktor ini
memberikanpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan siswa/peserta didik.
Mungkin salah satu factor ada yang lebih dominan, namun tetap kedua faktor
tersebut masing-masing berpengaruh, dan pada gilirannya ternyata tidak ada dua
individu yang sama.
Namun
kenyataan dilapangan banyak guru yang tidak mengetahui dan menyadari bahwa dari sekian banyak siswa yang
dihadapi itu ternyata beragam dalam hal karakteristik fisiknya, kecerdasan
(kecakapan), gaya dan cara belajar, komunikasi, mengerjakan tugas, cara
menyelesaikan problem, kepribadian, pola kepemimpinan keluarga,
penyesuaian sosial dan emosional. Maka
Bagi para pendidik, sangat penting memahami berbagai keragaman yang dimiliki
oleh siswa tesebut. Antara siswa satu dengan yang lainya berbeda kecakapan,
jasmani, sosial dan emosinalnya. Ada siswa yang tampak dapat bertindak secara
cepat, tepat, dan dengan mudah, lazimnya siswa itu disebut cakap. Ada siswa
yang belajarnya lamban, kurang tepat, dan bahkan mengalami kesukaran dalam
belajarnya.Hal ini merupaka masalah yang perlu diselsaikan dengan upaya-upaya
guru dalam mengetahui potensi-potensi
berbeda yang dimiliki peserta didik.
Upaya
pertama yang dilakukan untuk mengetahui perbedaan individu,sebelum dilakukan
pengukuran kapasitas mental yang mempengaruhi penilaian sekolah, adalah
menghitung umur kronologi. Seorang anak memasuki sekolah dasar pada umur 6
tahun dan ia diperkirakan dapat mengalami kemajuan secara teratur dalam
tugas-tugas sekolahnya dilihat dalam kaitannya dengan faktor umur.Selanjutnya
ada anggapan bahwa semua anak diharapkan mampumenangkap/mengerti bahan-bahan
pelajaran yang mempunyai kesamaan materi danpenyajiannya bagi semua siswa pada
kelas yang sama. Ketidakmampuan yang jelastampak pada siswa untuk menguasai
bahan pelajaran umumnya dijelaskan denganpengertian faktor-faktor seperti
kemalasan atau sikap keras kepala. Penjelasan itutidak berdasarkan pada
kenyataan bahwa para siswa memang berbeda dalam halkemampuan mereka untuk
menguasai satu atau lebih bahan pelajaran dan mungkinberada dalam satu tingkat
perkembangan.
Dalam
makalah sederhana ini, pemakalah akan menguraikan beberapa perbedaan individu
(individual defferences) yang mencakup arti perbedaan individu, faktor-faktor
yang mempengaruhi perkembangan individu, inteligensi, kepribadian dan
temperamen, gaya belajar dan gaya berpikir dan budaya dalam kaitannya dengan
perbedaan individu.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
pengertian, dan tes Inteligensi ?
2.
Bagaimana konsep gaya belajar dan berpikir
dalam belajar ?
3.
Bagaimana
ciri-ciri sifat kepribadian dan tempramen ?
C. TUJUAN
1.
Untuk
mengetahui tentang inteligensi, pengukurannya, dan teori inteligensi majemuk.
2.
Untuk
mengetahui jenis gaya belajar dan berfikir
3.
Untuk
mengetahui ciri sifat kepribadian dan temperamen
4.
BAB
II
ISI
A. Pengertian Intelegensi
Konsep
tentang inteligensi menimbulkan kontrofersi dan debat seru, terlebih manakala
inteligensi diukur dan dikuantifikasi dalam bentuk angka. Hal ini disebabkan
karena inteligensi sendiri merupakan suatu konsep yang abstrak. Istilah
intelegensi berasal dari kata Latin intelligence yang berarti
menghubungkan atau menyatukan satu sama lain (to organize, to relate, to
bind together) (Walgoti,1997). Intelegensi menurut David Wecshler (1958)
didefinisikan sebagai “Keseluruhan kemampuan individu untuk berpikir dan
bertindak secara terarah serta mengolah dan menguasai lingkungan secara
efektif”.
Beberapa
pakar mendeskripsikan inteligensi sebagai keahlian untuk memecahkan masalah.
Yang lain mendeskripsikan sebagai kemampuan untuk beradaptasi dan belajar dari
pengalaman hidup sehari-hari. Bila dua definisi ini digabungkan maka akan
didapat bahwa inteligensi merupakan keahlian untuk memecahkan masalah dan
kemampuan untuk beradaptasi pada, dan belajar dari, pengalaman hidup
sehari-hari. Dengan perkataan lain, intelegensi adalah kemampuan yang bersifat
umum untuk mengadakan penyesuaian terhadap suatu situasi atau masalah.
Kemampuan yang bersifat umum tersebut meliputi berbagai jenis kemampuan psikis
seperti: abstrak, berpikir mekanis, matematis, memahami, mengingat, berbahasa
dan sebagainya.
Intelligere adalah asal
kata intelegensi yang biasa kita kenal, yang mengandung arti menghubungkan atau
menyatukan satu sama lain.[2] Novelis Inggris abad ke-20 Aldous
Huxley mengatakan
bahwa anak-anak itu hebat dalam hal rasa ingin tahu dan intelegensinya. Apa
yang dimaksud Huxley ketika ia menggunakan kata intelegensi (intelligence)?
Intelegensi adalah salah satu milik kita yang paling berharga, tetapi bahkan
orang yang paling cerdas sekalipun tidak sepakat tentang apa intelegensi itu[3].
Para ahli mempunyai pengertian yang beragam tentang intelegensi yaitu :
1.
Anita E.
Woolfolk mengemukakan bahwa menurut teori-teori lama, intelegensi itu meliputi
tiga pengertian, yaitu (1) kemampuan untuk belajar; (2) keseluruhan pengetahuan
yang diperoleh; (3) kemampuan untuk beradaptasi secara berhasil dengan situasi
baru atau lingkungan pada umumnya. Selanjutnya Woolfolk mengemukakan bahwa
intelegensi itu merupakan satu atau beberapa kemampuan untuk memperoleh dan
menggunakan pengetahuan dalam rangka memecahkan masalah dan beradaptasi dengan
lingkungan.
2.
Alfred Binet,
seorang tokoh utama perintis pengukuran intelegensi bersama Theodore simon
mendefinisikan intelegensi atas tiga komponen yaitu (a) kemampuan untuk
mengarahkan fikiran atau mengarahkan tindakan; (b) kemampuan untuk mengubah
arah tindakan bila tindakan tersebut telah dilaksanakan dan (c) kemampuan untuk
mengkritik diri sendiri atau melakukan autocriticism.
3.
David
Wechsler pencipta skala-skala intelegensi yang populer sampai saat ini,
mendefinisikan intelegensi sebagai kumpulan atau totalitas kemampuan seseorang
untuk bertindak dalam tujuan tertentu, berfikir secara rasional, serta
mengahadapi lingkungannya dengan efektif.
Beberapa pakar mendeskripsikan intelegensi sebagai keahlian
untuk memecahkan masalah (problem-solving). Yang lainnya mendeskripsikannya
sebagai kemampuan untuk beradaptasi dan belajar dari pengalaman hidup
sehari-hari. Dengan mengkombinasikan ide-ide ini kita dapat menyusun definisi
inteligensi yang cukup fair:keahlian memecahkan masalah dan kemampuan untuk
beradaptasi pada, dan belajar dari, pengalaman hidup sehari-hari. Tetapi,
bahkan definisi yang luas ini tidak memuaskan semua orang. Seperi yang akan
anda lihat sebentar lagi, beberapa ahli teori mengatakan bahwa keahlian
bermusik harus dianggap sebagai bagian dari intelegensi. Juga, sebuah definisi
intelegensi yang didasarkan pada teori seperti teori Vygotsky harus juga
memasukkan factor kemampuan seseorang untuk menggunakan alat kebudayaan dengan
bantuan individu yang lebih ahli. Karena intelegensi adalah konsep yang abstrak
dan luas, maka tidak mengherankan jika ada banyak definisi. Jadi menurut Santrock (2008) intelegensi (kecerdasan) adalah
keterampilan menyelesaikan masalah dan kemampuan untuk beradaptasi dan belajar
dari pengalaman hidup sehari-hari[5]
Wilhelm Stern melihat, titik berat definisi intelegensi terletak
pada kemampuan penyesuaian diri (adjustment) seseorang terhadap masalah
yang dihadapi.[6] Artinya, orang yang intelegensinya
tinggi (cerdas), akan memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri dan memiliki
kecakapan dalam menghadapi masalah baru.
Sejalan dengan pendapat Stern, Amsal Amri juga mengemukakan
bahwa intelegensi adalah kemampuan untuk melakukan abstraksi, serta
berpikir logis dan cepat sehingga dapat bergerak dan menyesuaikan diri terhadap
situasi baru. Di sini Amsal melihat ada beberapa aspek kemampuan yang
dimaksud, yakni 1) kemampuan kognitif, 2) kemampuan psikomotorik, dan 3)
kemampuan afektif. Ketiga hal ini disebut dengan kecerdasan (intelegensi).
Sedangkan Slavin menjelaskan kecerdasan adalah salah satu
diantara kata-kata yang diyakini setiap orang bahwa mereka memahaminya hingga
anda meminta mereka mendefinisikannya. Pada satu tahap, kecerdasan dapat
didefinisikan sebagai bakat umum untuk belajar atau kemampuan untuk mempelajari
dan menggunakan pengetahuan atau keterampilan.
Sedangkan Howard Gardner (dalam Sunaryo Kartadinata, 2007: 6),
mendefinisikan kecerdasan sebagai:
1.
Kemampuan
memecahkan masalah yang muncul dalam kehidupan nyata;
2.
Kemampuan
melahirkan masalah baru untuk dipecahkan.;
3.
Kemampuan
menyiapkan atau menawarkan suatu layanan yang bermakna dalam kehidupan kultur
tertentu.
Lebih lanjut Gardner mendefinisikan Intelegensi sebagai
kemampuan untuk memecahkan persoalan dan menghasilkan produk dalam suatu
setting yang bermacam-macam dan dalam situasi yang nyata (1983;1993). Gardner
menganggap, intelegensi bukan hanya kemampuan dalam memecahkan persoalan yang
sifatnya test (teori), yang dilakukan dalam ruang tertutup dan
jauh dari realitas persoalan yang dhadapi oleh lingkungannya. Namun intelegensi
adalah kemampuan menyelesaikan persoalan yang nyata (real),
yang sungguh-sungguh terjadi. Karena menurut Gardner, orang baru dikatakan
berintelegensi kalau mampu memecahkan persoalan lingkungan yang benar-benar dia
hadapi. Bahkan, Gardner menganggap, tingkat produktifitas (kreatifitas) juga
menjadi ukuran intelegensi seseorang
B. Teori
– teori Intelegensi
Spearman berpendapat bahwa setiap individu memiliki General
Ability (General Factor/G) dan Specific Ability(Specific
Faktor/S).[12] Kedua hal tersebut adalah faktor
yang terkandung dalam intelegensi, walau dalam setiap individu faktor-faktor
tersebut karakternya berbeda. Sejalan dengan Super dan Cites, yang menganggap
intelegensi adalah kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan atau belajar
dari pengalaman.[13]
Minat terhadap intelegensi seringkali difokuskan pada perbedaan
individual dan penilaian individual (Kaufman & Lictenberger, 2002;
Lubinski, 2000; Molfse & Martin, 2001). Perbedaan individual adalah cara
dimana orang berbeda satu sama lain secara konsisten dan tetap. Kita bisa
berbicara tentang perbedaan individual dalam hal kepribadiannya (personalitas)
dan dalam bidang-bidang lain, namun intelegensilah yang paling banyak diberi
perhatian dan paling banyak dipakai untuk menarik kesimpulan tentang perbedaan
kemampuan murid.
Jika disederhanakan, Prof. Dr. H. Djaali dalam bukunya Psikologi
Pendidikan mengatakan bahwa teori intelegensi menurut para ahli adalah
sebagai berikut:
1.
Teori
Faktor
Charles Spearman
mendeskripsikan struktur intelegensi yang terdiri dari General Ability (G)
dan Specific Ability(S).
2.
Teori
Struktur Intelegensi
Teori ini disampaikan oleh
Guilford. Menurut Guilford, struktur kemampuan intelektual seseorang
memiliki 150 kemampuan dan memiliki tiga paramater, yaitu operasi, produk, dan
konten.
3.
Teori Uni
Faktor
Wilhelm Stern beranggapan
intelegensi adalah kapasitas atau kemampuan umum. Kapasitas umum tersebut
tumbuh akibat pertumbuhan fisiologis ataupun akibat belajar.
4.
Teori
Multi Faktor
E.L. Thorndike berpendapat,
bahwa intelegensi adalah bentuk hubungan neural antara stimulus dengan respons.
Hubungan inilah yang mengarahkan tingkah laku individu.
5.
Theory Primary
Ability
Thurstone membagi
intelegensi menjadi kemampuan primer yang terdiri atas kemampuan numerical/matematis,
verbal atau bahasa, abstraksi, berupa visualisasi atau berpikir, membuat
keputusan, induktif maupun deduktif, mengenal atau mengamati, dan mengingat.
6.
Teori Sampling
Menurut teori ini,
intelegensia merupakan berbagai kemampuan sampel. Hal ini dikarenakan pandangan
Godfrey H. Thomson yang memandang dunia sebagai kumpulan-kumpulan pengalaman.
7.
Entity
Theory
Intelegensi dianggap sebagai
suatu kesatuan yang tetap dan tidak berubah-ubah.
8.
Incremental
Theory
Teori ini menganggap, setiap
individu mempunyai potensi untuk cerdas, dan kecerdasan tersebut bisa
ditingkatkan melalui proses belajar.
9.
Teori
Multiple Intelegensi
Teori multiple
intelegensi ini disampaikan oleh Gardner. Menurut Gardner intelegensi
manusia memiliki tujuh dimensi yang semiotonom, yaitu linguistik, musik,
matematik logis, visual spesial, kinestatik fisika, sosial interpersonal, dan
intrapersonal. Setiap dimensi tersebut memiliki kompetensi yang eksistensinya
berdiri sendiri dalam sistem neuron. Artinya tidak terbatas
pada yang bersifat intelektual.
Berdasarkan pemaparan di atas maka dapat ditarik kesimpulan,
bahwa intelegensi (kecerdasan) adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki oleh
setiap individu dalam merespon dan menyesuaikan diri dengan lingkungannya,
serta tingkat produktifitas dan kreatifitas dalam memecahkan persoalan yang
dihadapi.
Dalam pembahasan selanjutnya, kami akan memaparkan teori multiple
intelegensi yang digagas oleh Gardner. Karena teori multiple
intelegensi lebih banyak bersentuhan dengan aspek-aspek yang terdapat
dalam diri manusia.
C. Tes Intelegensi
Tes inteligensi individual pertama kali dikembangkan oleh
psikolog Alfred Binet dan dibantu oleh mahasiswanya Theopild Simon. Binet dan
Simon mengembangkan konsep mental age (MA) atau usia mental yakni level
perkembangan individu yang berkaitan dengan perkembangan lain. Tak lama
kemudian, William Stern menciptakan konsep Intelligence Quotient (IQ), yaitu
usia mental seseorang dibagi dengan usia kronologis dikalikan dengan 100. Jika
usia mental sama dengan usia kronologis maka IQ orang itu sama dengan 100. Jika
usia mental seseorang lebih dari usia kronologis maka IQ orang itu lebih dari
100. Jika usia mentalnya kurang dari usia kronologis maka IQ orang itu akan
kurang dari 100. Tes Binet ini selanjutnya direvisi dan revisi terakhir yang
sampai sekarang banyak dipakai untuk mengukur inteligensi murid adalah
Standford-Binet.
Selain standford-binet, tes lain yang bisa digunakan untuk
mengukur inteligensi seseorang adalah skala
wechsler yang dikembangkan
oleh David Wechsler. Tes ini digunakan selain untuk menunjukkan IQ secara
keseluruhan juga menunjukkan IQ verbal dan IQ kinerja.
Pada tahun 1904 Menteri pendidikan Perancis meminta psikolog
Alfred Binet untuk menyusun metode guna mengidentifikasi anak-anak yang tidak
mampu belajar disekolah. Para pejabat disekolahan ingin mengurangi sekolahan
yang sesak dengan cara memindahkan murid yang kurang mampu belajar di sekolah
umum ke sekolah khusus. Binet dan mahasiswanya, Theophile Simon, menyusun tes
inteligensi untuk memenuhi permintaan ini. Tes itu disebut skala 1905. Tes ini
terdiri dari 30 pertanyaan, mulai dari kemampuan untuk menyentuh telinga hingga
kemampuan untuk menggambar desain berdasarkan ingatan dan mendefinisikan konsep
abstrak.
1.
Tes Intelegensi
Individual ( Tes Binet dan Skala Wechsler)
Alfred
Binet dan Theodor Simon, 2 orang psikolog asal Perancis merancang
suatu alat evaluasi yang dapat dipakai untuk mengidentifikasi siswa-siswa yang
memerlukan kelas-kelas khusus (anak-anak yang kurang pandai). Alat tes itu
dinamakan Tes Binet-Simon. Tes ini kemudian direvisi pada tahun 1911.
Binet
mengembangkan konsep mental age (MA) atau usia mental yakni
perkembangan mental individu yang berkaitan dengan perkembangan lain. Tak lama kemudian,
pada 1912 Wiliam Stern menciptakan konsep Intelegensi Quotient (IQ) yaitu usia
mental seseorang dibagi dengan usia kronologis (chronological age-CA)
dikalikan 100. Jadi rumusnya,
IQ =
(MA/CA)*100.
Jika usia
mental sama dengan usia kronologis, maka IQ orang itu adalah 100. Jika usia
mental di atas kronologis, maka-IQnya lebih dari 100. Misalnya, anak enam tahun
dengan usia mental 8 tahun akan mempunyai IQ 133. Jika usia mentalnya dibawah
usia kronologis, maka IQnya di bawah 100. Misalkan anak usia 6 dengan usia
mental 5 akan punya IQ 83. Berikut adalah klasifikasi IQ menurut Binet:
KLASIFIKASI
|
IQ
|
Genius
|
140 ke atas
|
Sangat cerdas
|
130 – 139
|
Cerdas (superior)
|
120 – 129
|
Di atas rata-rata
|
110 – 119
|
Rata-rata
|
90 – 109
|
Di bawah rata-rata
|
80 – 89
|
Garis Batas (bodoh)
|
70 – 79
|
Moron (lemah pikir)
|
50 – 69
|
Imbisil,idiot
|
49 ke bawah
|
Tahun
1916, Lewis Terman, seorang psikolog dari Amerika mengadakan banyak
perbaikan dari tes Binet-Simon. Sumbangan utamanya adalah menetapkan indeks
numerik yang menyatakan kecerdasan sebagai rasio (perbandingan) antara mental
age dan chronological age. Hasil perbaikan ini
disebut Tes Stanford_Binet. Indeks seperti ini sebetulnya telah
diperkenalkan oleh seorang psikolog Jerman yang bernama William Stern,
yang kemudian dikenal dengan Intelligence Quotient atau IQ.
Tes Stanford-Binet ini banyak digunakan untuk mengukur kecerdasan anak-anak
sampai usia 13 tahun.
Salah satu
reaksi atas tes Binet-Simon atau tes Stanford-Binet adalah bahwa tes itu
terlalu umum. Seorang tokoh dalam bidang ini, Charles
Sperrman mengemukakan bahwa inteligensi tidak hanya terdiri dari satu
faktor yang umum saja (general factor), tetapi juga terdiri dari faktor-faktor
yang lebih spesifik. Teori ini disebut Teori Faktor (Factor Theory
of Intelligence). Alat tes yang dikembangkan menurut teori faktor ini
adalah WAIS (Wechsler Adult Intelligence Scale) untuk orang dewasa, dan WISC (Wechsler Intelligence Scale for Children) untuk anak-anak.
Distribusi
normal adalah simetris, dengan mayoritas skor berada pada tengah-tengah rentang
skor yang mungkin muncul dan hanya ada sedikit skor yang berada mendekati ujung
dari rentang itu.
Tes
Stanford binet kini dilakukan secara individual untuk orang dari usia 2 tahun
hingga dewasa. Tes ini memuat banyak item beberapa diantaranya membutuhkan
jawaban verbal, yang lainnya respon non verbal.
Edisi
keempat tes Stanford-Binet dipublikasikan pada 1985. Salahsatu penambahan
penting pada versi ini adalah analisis respons individual dari segi empat
fungsi: penalaran verbal, penalaran kuantitatif, penalaran visual abstrak, dan
memori jangka pendek. Skor komposit umum masih dipakai untuk mengetahui
keseluruhan inteligensi. Tes Stanford-Binet masih menjadi salah satu tes yang paling
banyak digunakan untuk menilai inteligensi murid (Aiken, 2003; Walsh&Betz,
2001).
Tes lainnya
yang banyak dipakai untuk menilai intelegensi murid dinamakan skala weshsler
yang dikembangkan oleh David Wechsler. Tes ini mencakup Weshsler Pre school
and Primary scale of Intellegensi Revised(WPPSI-R) untuk menguji anak usia 4-6,5 tahun; Weshsler
Intellegensi Scale for Children- Revised (WISC-R) untuk anak dan
remaja dari usia 6-16 tahun; dan Weshsler Adult Intellegensi
Scale-Revised (WAIS-R) untuk orang dewasa.
Selain
menunjukan IQ keseluruhan, skala Weshsler juga menunjukan IQ verbal dan IQ
kinerja. IQ verbal didasarkan pada 6 sub skala verbal, IQ kinerja didasarkan
pada 5 sub skala kinerja. Ini membuat peneliti bias melihat dengan cepat
pola-pola kekuatan dan kelemahan dalam area intelegensi murid yang berbeda-beda
(Woolger 2001)
Berikut
adalah Klasifikasi menurut Wechsler:
KLASIFIKASI
|
IQ
|
Very Superior
|
130 ke atas
|
Superior
|
120 –129
|
Bright Normal
|
110 –119
|
Average
|
90 – 109
|
Dull Normal
|
80 – 89
|
Borderline
|
70 –79
|
Mental Deffective
|
69 ke bawah
|
2.
Tes Intelegensi Kelompok
Siswa
dapat di berikan tes intelegensi dalam kelompok. Tes intelegensi meliputi
Lorge- Trondike dan tes kemampuan sekolah Otis Lennon (Otis Lennon School Ability Test-
OLSAT). TES INTEGENSI NKELOMPOK LEBIH NYAMAN DAN EKONOMIS DARPADA TES INDIVIDU,
TAPI MEMILIKI KELEMAHAN. Ketika tes di berikan kepada kelompok besar, pemeriksa
tidak bisa menjalin hubungan, menentukan tingkat kecemasan siswa dan
sebagainya. Dalam situasi pengujian kelompok-, siswa mungkin tidak memahami
intruksi atau mungkin terganggu oleh siswa lain. Karena keterbatasan tersebut,
saat keputusan penting yang dibuat mengenai siswa, tes imntegensi kelompok
harus selalu di lengkapin dengan informasi lain mengenai kemampuan siswa. Untuk
itu, strategi yang sam berlaku untuk tes intelegensi individual meskipun
memiliki keunggulan pada akurasinya. Namun yang pasti, keputusan untuk
menempatkan siswa di kelas bagi siswa yang memiliki keterbelakangan mental,
kelas pendidikan khusus, atau kelas bagi siswa yang berbakat tidak harus
berdasarkan pada tes kelompok saja. Dalam hal demikian, jumlah ektensif
informasi yang relevan tentang kemampuan siswa harus diperoleh diluar situasi
pengujian.
D. Teori Intelegensi
Majemuk
Berdasarkan uraian di atas,
maka dapat dipahami bahwa kecerdasan adalah kemampuan-kemampuan
yang dimiliki oleh individu dalam menghadapi masalah yang ada di
lingkungannya. Setiap individu dengan individu lainnya memiliki kemampuan
yang berbeda-beda. Gardner berpendapat, bahwa kemampuan itu sendiri memiliki
banyak jenis dan dimensi. Keanekaragaman jenis kemampuan-kemampuan inilah yang
disebut dengan kecerdasan majemuk (multiple intelegensi). Realita
inilah yang mendorong Gardner menelurkan gagasannya tentang multilpe
intelegensi(kecerdasan majemuk).
Menurut teori ini, setiap anak yang terlahir di dunia tidak ada
yang bodoh. Semuanya memiliki kesempatan dan hak untuk disebut sebagai orang
yang cerdas. Pendapat Gardner ini membuka wawasan kita tentang hakikat dari
kecerdasan. Selama ini penilaian tentang kecerdasan hanya terbatas pada sesuatu
yang sempit dan statis. Namun Gardner – dan para ahli lainnya – memaknai
kecerdasan sebagai kemampuan seseorang dalam beradaptasi, lebih jauh Gardner
menambahkan penekanannya pada aspek atau dimensi psikologis manusia yang
membentuk jenis-jenis kemampuan tersebut.
Ada dua teori utama dalam perdebatan teori multiple intelligence yakni teori Triarkis Sternberg dan
teori multiple intelligence Gardner. Menurut sternberg,
inteligensi muncul dalam tiga bentuk bentuk:
1.
Analitis, merupakan
intelegensi yang melibatkan kemampuan untuk menganalisis , menilai,
mengevaluasi, membandingkan.
2.
Kreatif, merupakan
intelegensi yang terdiri atas kemampuan untuk menciptakan , mendesain,
menemukan, orisinalitas, dan membayangkan.
3.
Praktis, merupakan
intelegensi yang berfokus pada kemampuan untuk menggunakan, menerapkan,
melaksanakan, dan memasukkan ke dalam praktik.
Dan menurut Gardner inteligensi muncul dalam tujuh bentuk bentuk
1.
Keterampilan verbal,
merupakan kemampuan untuk berfikir kata-kata dan berbicara menggunakan bahasa
untuk mengekspresikan makna (penulis, jurnalis, pembicara)
2.
Keterampilan matematika,
merupakan kemampuan untuk melaksanakan
operasi matematika ( ilmuwan insinyur, akuntan)
3.
Keterampilan spasial,
merupakan kemampuan untuk berfikir tiga dimensi ( arsitek, seniman, pelaut)
4.
Keterampilan
kinestetik-jasmani, merupakan kemampuan untuk memanipulasi objek dan fisik
secara mahir ( ahli bedah, kerajinan rakyat, penari, dan atlet).
5.
Keterampilan musik,
merupakan kemampuan kepekaan terhadap pitch, melodi, irama, dan nada (
komposer, musisi, dan terapis musik)
6.
Keterampilan
intrapersonal, merupakan kemampuan untuk memahami dan secara efektif ( teolog,
psikolog).
7.
Keterampilan
interpersonal, merupakan kemampuan untuk memahami dan secara efektif
berinteraksi dengan orang lain ( guru sukses, profesional kesehatan mental).
8.
Keeterampilan naturalis,
merupakan kemampuan untuk mengamati pola di alam dan memahmi sistem alam dan
buatan manusia ( petani, ahli botani, ekologi, ahli tanaman)
Terkait macam-macam intelegensi yang dipaparkan oleh Gardner,
Prof. Dr. H. Djaali memetakan ada tujuh jenis seperti yang sudah kami sebutkan
di atas. Namun dalam beberapa referensi lainnya, seperti yang dipaparkan oleh
Sunardi dkk, multiple intelegensi yang dipaparkan oleh
Gardner ada 10 macam intelegensi.
Sunardi dkk, sesuai dengan teori multiple
intelegensi yang disampaikan oleh Gardner, membagi kecerdasan dengan
10 bidang (aspek) dalam psikologi manusia. Berdasarkan
pendekatan tersebut, kecerdasan atau intelegensi ada 10 macam, yaitu:
1.
Kecerdasan linguistic (linguistik intelligence)
Adalah kemampuan untuk
berfikir dalam bentuk kata-kata dan menggunakan bahasa untuk mengekpresikan dan
menghargai makna yang komplek, yang meliputi kemampuan membaca, mendengar,
menulis, dan berbicara.
2.
Intelegensi
logis-matematis (logical
matematich)
Adalah kemampuan dalam
menghitung, mengukur dan mempertimbangkan proposisi dan hipotesis serta
menyelesaikan operasi-operasi matematika.
3.
Intelegensi
musik (musical intelegence)
Intelegensi musik adalah
kecerdasan seseorang yang berhubungan dengan sensitivitas pada pola titik nada,
melodi, ritme, dan nada. Musik adalah bahasa pendengaran yang menggunakan tiga
komponen dasar yaitu intonasi suara, irama dan warna nada yang memakai system
symbol yang unik.
4.
Intelegensi Kinestetik
Kinestetik adalah belajar
melalui tindakan dan pengalaman melalui panca indera. Intelegensi
kinestetik adalah kemampuan untuk menyatukan tubuh atau pikiran untuk
menyempurnakan pementasan fisik. Dalam kehidupan sehari-hari dapat diamati pada
actor, atlet atau penari, penemu, tukang emas, mekanik.
5.
Intelegensi Visual-spasial
Intelegensi visual-spasial
merupakan kemampuan yang memungkinkan memvisualisasikan informasi dan
mensintesis data-data dan konsep-konsep ke dalam metavor visual.
6.
Intelegensi Interpersonal
Intelegensi interpersonal
adalah kemampuan untuk memahami dan berkomunikasi dengan orang lain dilihat
dari perbedaan, temperamen, motivasi, dan kemampuan.
7.
Intelegensi Intrapersonal
Adalah kemampuan seseorang
untuk memahami diri sendiri dari keinginan, tujuan dan system emosional yang
muncul secara nyata pada pekerjaannya.
8.
Intelegensi Naturalis
Adalah kemampuan untuk
mengenal flora dan fauna melakukan pemilahan-pemilahan utuh dalam dunia
kealaman dan menggunakan kemampuan ini secara produktif, misalnya untuk
berburu, bertani, atau melakukan penelitian biologi.
E. Intelegensi
Emosional
Konsep
Intelegensi Emosional yang dikembangkan oleh Peter Salovey dan John Mayer (
1990 ) sebagai kemampuan untuk memahami dan mengekspresikan emosi secara akurat
dan adaptif ( seperti mengambil perspektif terhadap orang lain) , untuk
memahami emosi dan mengetahui pengetahuan emosional ( serta memahami peran yang
emosi mainkan dalam persahabatan dan hubungan lain), menggunakan perasaan untuk
memfasilitasi pemikiran( seperti berada di suasana hati yang positif yang
terkait dengan berfikir kreatif ) , dan mengelola emosi diri sendiri dan orang
lain ( seperti mampu mngendalikan amarah seseorang).
Gardner
|
Sternberg
|
Salovey/Mayer
|
Verbal
Matematika
|
Analisis
|
|
Spasial
Gerakan Musikal
|
Kreatif
|
|
Interpersonal
Intrapersonal
|
Praktis
|
Emosional
|
Naturalistik
|
|
|
Konsep kecerdasan emosional dikembangkan oleh Daniel Goleman.
Goleman percaya bahwa untuk memprediksi kompetensi seseorang, IQ seperti yang diukur dengan
menggunakan tes kecerdasan ternyata tidak lebih penting dari kecerdasan
emosional. Menurutnya, emotional
intelligence terdiri dari
empat area yakni:
1.
Developing
emotional awarenes; seperti kemampuan
untuk memisahkan perasaan dari tindakan.
2.
Managing
emotions; seperti mampu untuk
mengendalikan amarah.
3.
Reading
emotions; seperti memahami
perspektif orang lain.
4.
Handing
relationship; seperti kemampuan untuk
memecahkan problem hubungan dengan orang lain.
F. Kontroversi dan Isu dalam
Intelegensi
1.
Alam
dan Asuhan
Rushton
& Ankney
|
Intelegensi terutama diwariskan dan
bahwa pengalaman lingkungan hanya memainkan peranan kecil dalam
manifestasinya
|
Grigorenko
& Takanishi; Preis & Sternberg
|
Lingkungan juga memainkan peran
penting dalam intelegensi
|
William
Greenough
|
Mengibaratkan alam dan asuhan
seperti panjang dan lebar pada persegi panjang
|
2.
Etnis
dan Budaya
a. Perbandingan
Etnis
Secara
rata-rata, anak - anak Afro - Amerika mencetak 10 - 15 point
lebih rendah pada tes intelegensi standar di bandingkan anak - anak kulit
putih.Tetapi sekitar 15 - 25 % dari anak - anak Afro Amerika memiliki skor yang
lebih tinggi dari separuh anak-anak kulit putih, dan banyak anak
kulit putih mencetak nilai lebih rendah dari kebanyakan Afro Amerika. Maka
dapat disimpulkan bahwa perbedaan etnis tidak mempengaruhi intelegensi
seseorang.
b.Bias
Budaya
Banyak
dari tes awal intelegensi bias budaya, mendukung anak-anak perkotaan atas
pedesaan anak dari kelurga berpenghasilan menengah atas anak dari keluarga
berpenghasilan rendah, dan anak kulit putih atas anak-anak minoritas ( Miller -
Jones, 1989). Untuk itu terdapat tes keadilan budaya yang bertujuan untuk
menhindari bias budaya. Dua jenis tes keadilan budaya :
1.
Mencakup pertanyaan akrab
dari semua latar belakang sosial ekonomi dan etnis.
2.
Tipe tes keadilan budaya
tidak mengandung pertanyaan lisan.
Menurut
Shiraev & Levy (2010 ), kebanyakan tes cenderung mencerminkan apa yang
budaya dominan pikir adalah penting. Kerena kesulitan tersebut dalam
menciptakan tes keadilan budaya Robert Stenberg dan rekan-rekannya menyimpulkan
bahwa tidak ada tes keadila budaya tetapi hanya tes berkurangnya budaya.
3.
Pengelompokan dan
Pelacakan Kemampuan
Sering
kita temukan penggunaan skor siswa pada tes intelegensi untuk menempatkan
mereka dala kelompok kemampuan mereka salah satu contohnya pengelompokan kelas.
Dibawah
ini tabel perbandingan sisi positif dan negatif pengelompokan dan pelacakan
tersebut :
Positif
|
Negatif
|
Mempersempit
jangkauan keterampilan dalam sekelompok siswa sehingga lebih mudah mengajar
mereka.
|
Adanya
labeling sebagai jalur rendah ( Bank, 2010).
|
Mencegah
siswa kurang mampu dari kegiatan menahan siswa lebih berbakat
|
Sering
memiliki guru yang kurang berpengalaman, sumber daya ebih sedikit, dan
harapan yang lebih rendah ( Wheelock, 1992)
|
Para
peneliti mengungkapkan bahwa pelacakan tidak membahayakan prestasi siswa jalur
renah ( Kelly, 2008). Namun, tampaknya menguntungkan siswa jalur tinggi.
G. Gaya Belajar dan
Gaya Berpikir
Inteligensi
mengacu pada kemampuan. Gaya belajar dan
berfikir bukan kemampuan melainkan pilihan cara untuk menggunakan kemampuan
seseorang (Zhang & sternberg,2009). Pendekatan belajar berfikir anak dalam berbagai car ayang
menajubkan. Guru sendiri juga bervariasi dalam gaya mereka belajar dan
berfikir. Tidak satupun dari kita memiliki hanya satu gaya belajar dan
berfikir, masing-masing dari kita memiliki profil dari banyak gaya. Individu
bervariasi sehingga ratusan gaya belajar dan berfikir telah di usulkan oleh
pendidik dan psikolog.
1. Gaya
impulsif-reflektif
Gaya
impulsif-reflektis sering dikenal dengan tempo konseptual. Yakni murid cendrung
bertindak cepat dan impulsif atau menggunakan lebih banyak waktu untuk
merespons dan merenungkan akurasi dari suatu jawaban. Murid yang impulsif
seringkali lebih banyak melakukan kesalahan ketimbang murid yang reflektif.
Dibandingkan murid yang impulsif, murid yang reflektif juga lebih mungkin untuk
menentukan sendiri tujuan belajar dan berkonsentrasi pada informasi yang
relevan. Mereka biasanya memiliki standar kerja yang tinggi. Dikotomi ini
melibatkan kecenderung siswa untuk bertindak cepat dan impulsif atau untuk
mengambil lebih banyak waktu dalam respon dan merenungkan akurasi jawaban.
Siswa impulsif biasanya membuat lebih banyak membuat kesalahan daripada siswa
reflektif.
2. Gaya
mendalam-dangkal
Maksudnya ialah sejauh mana murid
mempelajari materi belajar dengan satu cara yang membantu mereka untuk memahami
materi tersebut (gaya mendalam) atau sekedar mencari apa yang perlu untuk
dipelajari (gaya dangkal). Murid yang belajar dengan gaya dangkal tidak bisa
mengaitkan apa yang mereka pelajari dengan kerangka konseptual yang lebih luas.
Mereka cendrung belajar secara pasif, hanya mengingat informasi. Sementara itu
murid yang menggunakan gaya belajar mendalam lebih mungkin untuk secara aktif
memahami apa yang mereka pelajari dan memberi makna pada apa yang perlu untuk
diingat. Pelajar mendalam lebih mungkin memotivasi diri sendiri untuk belajar
dibandingkan dengan pelajar dangkal yang akan termotivasi bila ada penghargaan dari
luar seperti pujian dan tanggapan positif dari guru.
Ketergantungan
lapangan versus ketidakbergantungan lapangan, Orang-orang
yang bergantung pada lapangan cenderung melihat pola secara keseluruhan dan
mengalami kesulitan dalam memisahkan aspek-aspek
tertentu suatu situasi atau pola. Sedangkan orang yang tidak bergantung pada
lapangan lebih mampu melihat bagian-bagian yang membentuk suatu pola yang
besar. Selain itu, orang yang bergantung pada lapangan cenderung lebih
berorientasi pada orang dan hubungan sosial dari pada orang-orang yang tidak
bergantung pada lapangan (Slavin, 2004: 168).
H. Kepribadian dan
temperamen
1. Kepribadian
Kepribadian
atau personalitas ialah pemikiran, emosi dan perilaku tertentu yang menjadi
ciri dari seseorang menghadapi dunianya. Kepribadian mencakup lima hal yang
menjadi ciri bawaan yang menonjol yakni, openness (keterbukaan
terhadap pengalaman), conscientiousness (kepatuhan),
extraversion (keterbukaan terhadap orang lain), agreebleness (kepekaan
nurani), neoroticism (stabilitas emosional).
Dalam
konteks pembelajaran, guru harus dapat mendalami dan memahami keanekaragaman
karakteristik kepribadian muridnya. Dengan demikian, kegiatan
pembelajaran menjadi suatu kegiatan yang menyenangkan walau dijalankan dalam
situasi yang beragam.
Beberapa
peneliti kepribadian berpendapat bahwa
mereka telah mengidentifikasi lima besar
faktor kepribadian ,”sifat super” untuk menggambarkan dimensi utama kepribadian
:
a.
Keterbukaan
b.
Kesadaran
c.
Ektraversi
d.
Keramahan
e.
neurotisme (stabilitas emosi).
Lima
besar faktor dapatb memberikan kerangka kerja untuk berfikir mengenai ciri-ciri
kepribadian siswa. Siswa akan berbeda dalam stabilitas emosi mereka, bagaimana
mereka terbuka atau tertutup, bagaimana terbuka terhadap pengalaman, bagaimana
menyenangkan mereka, dan bagaimana
mereka bersifat teliti.
2. Temperamen
Temperamen
adalah gaya perilaku seseorang dan cara khasnya dalam memberi tanggapan atau
respons. Beberapa murid bertemperamen aktif, sedangkan yang lainnya tenang.
Beberapa murid merespons orang lain dengan hangat sedangkan yang lainnya secara
sambil lalu. hal inilah yang mngindikasikan adanya variasi temperamen dalam
diri siswa.
Temperamen
dikategorikan dalam tiga kelompok sebagaimana yang dikelompokkan oleh Chees dan
Thomas, yakni: anak mudah (easy child), anak sulit (difficut child)
dan anak lambat bersikap hangat (slow-to-warm-up child). Pengelompokkan
atas temperamen ini kemudian direvisi kembali oleh Rothbard dan Bates yang
lebih memfokusnya pada (1) sikap dan pendekatan positif; (2) sikap dan
pendekatan negatif; (3) usaha kontrol atau pengaturan diri.
Dalam
konteks pembelajaran, ada beberapa strategi yang berhubungan dengan temperamen
murid, yakni memberi perhatian dan penghargaan pada individualitas,
memperhatikan strukstur lingkungan murid, dan waspada terhadap problem yang
dapat muncul apabila memberi cap sulit bagi seorang anak yang menyusun paket
program untuk anak sulit.
Diskripsi
dari tiga dimensi tempramen ( Rothbart,2004
hlm.495)
1.
ekstraversi / surgensi termasuk “ antisipasi positif, impulsif,
tingkat aktivitas, dan mencari sensasi.
2.
Pengaruh negatif terdiri atas
anak-anak yang mudah tertekan “ ketakutan, frustasi, kesedihan dan
ketidaknyamanan.” Mereka mungkin resah dan sering menangis.
3.
Kontrol penuh usaha (
pengagturan diri).perhatian dan pergeseran fokus, kontrol inhibisi, sensitivitas
presepsi, dan intensitas kesenangan rendah.” Anak-anak yang tinggi pada kontrol
penuh usaha menunjukkan kemampuan untuk menjaga gairah mereka dari mendapatkan
terlalu tinggi dan memiliki strategi untuk menengkan diri. Sebaliknya,
anak-anak pada kontrol usaha rendah sering tidak dapat mengendalikan gairah
mereka, mereka menjadi mudah gelisah dan sangat emosional . studi baru-baru ini
pada anak-anak usia sekolah di amerika serikat dan china mengungkapakan dalam
kedua budaya kontrol usaha rendah dikaitkan dengan eksternalisasi masalah,
seperti berbohong, menipu, tidak taat, dan menjadi terlalu agresif.
BAB III
KESIMPUILAN
Perbedaan individu merupakan
topik pembicaraan dalam psikologi pendidikan yang tak akan habis didiskusikan
dari zaman ke zaman. Dewasa ini, konsep perbedaan individu semakin ramai
dibicarakan dan diperhatikan banyak pihak khususnya dalam bidang pendidikan.
betapa tidak, pengaruh globalisasi dan pesatnya perkembangan telah menggeser
pola pikir, tindak dan karsa manusia. Oleh karena itu, dalam bidang pendidikan
sangat perlu untuk mendalami perbedaan individu para pebelajar.
Dari uraian-uraian yang disampaikan dalam makalah ini, maka
pemakalah dapat
menyimpulkan beberapa hal yang terkait dengan perbedaan individu, sebagai
berikut
1.
Perbedaan
individu merupakan suatu hakikat manusia, karena tidak ada satu pun manusia di
dunia ini yang sama. Walau mirip, namun keduanya tetap tidak sama. Untuk
mendalami ini ialah tugas dari psikologi perkembangan. Dan para psikolog telah
menemukan bahwa perkembangan individu sangat dipengaruhi oleh hereditas (faktor
internal) dan lingkungan (eksternal).
2.
Perbedaan
individu dalam dunia pendidikan tampak dalam perbedaan inteligensi, kepribadian
dan temperamen, budaya (sosio-ekonomi, bahasa, gender, situasi sosial
kemasyarakatan, suku/ras) dan juga perbedaan gaya berpikir dan gaya belajar
siswa.
3.
Merupakan
usaha/upaya guru (pendidik) dan juga semua stake-holders dalam dunia pendidikan
agar memperhatikan dan mendalami berbagai gejala dan fakta perbedaan individu
dalam konteks pembelajaran. Pendidikan multikultural dan pendidikan berwawasan
kesetaraan, pendidikan dwibahasa merupakan contoh upaya dalam memajukan
pendidikan yang mampu merangkum semua peserta didik yang berbeda dalam satu
kesatuan kegiatan pembelajaran.
DAFTAR
PUSTAKA
Allport, G.W., Pola dan Pertumbuhan dalam
Kepribadian. New York: Holt,
Rinehart & Winston, 1961
Dalyono.
M., Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta 2007
Depoter,
Bobbi & Mike Hernachi. Quantum
Learning Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan. Bandung: Kaifa, 1999
Gale, A. dan Eysenck, M.W., Buku Pegangan
Perbedaan Individu: Perspektif Biologi. Chichester: Wiley, 1991
Hartono
S., Perkembangan Peserta Didik, Jakarta: Rineka Cipta, 1999
Makmun.S.A., Psikologi Pendidikan. Bandung:
Rosda Karya Remaja, 2003
Maltby,
J. Day, L. dan MacAskill, A. Kepribadian,
Perbedaan Individu dan Intelijen. Jakarta:
Pearson, 2007
Purwanto,
N. Psikologi Pendidikan,
Bandung: Remaja Rosdakarya, 1998
Santrock, John W., terj. Tri Wibowo. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Kencana, 2008
Semiawan, C. Perspektif
Pendidikan Anak Berbakat, Jakarta: Grasindo, 1977
Slavin, E.Robert, terj. Samosir, Marianto. Psikologi Pendidikan, Teori dan
Praktek, ed. Ke-9 jilid 1. Jakarta: PT
Indeks, 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar