Selasa, 20 Oktober 2015

PSIKOLOGI PENDIDIKAN_VARIASI INDIVIDUAL

VARIASI INDIVIDUAL

Description: Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjoEKL7iuGecriqR7PRjqAF-WFNgO7xKyTeMM_78j5R3p31oGfjAeS7rhDCFhe70bES7NTTfGpYgE7ZsmrTIFsY6vyGFk-P1X-F7XpPYLW5_vQsx-KvfZiYdGSyOpaivQxZMj7ce_3G7nc/s1600/Logo+Universitas+Negeri+Yogyakarta.png







            Di susun oleh :
1.        Anggarwati Riscaputantri ( 15701251009 )
2.        Ajeng Wahyuni
3.        Ahmad Niayatulloh  ( 15701259001)






PSIKOLOGI PENDIDIKAN
PENELITIAN DAN EVALUASI PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2015



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Individu adalah sesuatu kesatuan yang memiliki ciri khasnya masing-masing, dan karena itu tidak ada individu yang sama persis meskipun kembar, satu dengan yang lainya berbeda. Ini dapat dikatakan sebagai kepastian, keragaman individu bukan keseragaman. Sifat individual adalah sifat yang berkaitan dengan orang perseorangan,berkaitan dengan perbedaan individual perseorangan. Ciri dan sifat orang yang satuberbeda dengan yang lain. Perbedaan ini disebut perbedaan individu atau perbedaan individual. Hal ini .sebagaimana dikatakanoleh Landgren (1980: 578)  perbedaan individu  itu menyangkut variasi yang terjadi, baik variasi pada aspek fisik-motorik, kognitif, maupun sosio-emosional.
Setiap individu adalah unik. Artinya setiap individu memiliki perbedaan antarayang satu dengan yang lain. Perbedaan tersebut bermacam-macam, mulai dariperbedaan fisik, pola berpikir dan cara-cara merespon atau mempelajari hal-hal baru.Dalam hal belajar, masing-masing individu memiliki kelebihan dan kekurangan dalammenyerap pelajaran yang diberikan. Oleh karena itu dalam dunia pendidikan dikenalberbagai metode untuk dapat memenuhi tuntutan perbedaan individu tersebut. Dinegara-negara maju sistem pendidikan bahkan dibuat sedemikian rupa sehinggaindividu dapat dengan bebas memilih pola pendidikan yang sesuai dengankarakteristik dirinya.
Pada dasarnya tiap individu merupakan satu kesatuan, yang berbeda antarasatu dengan yang lainnya. Perbedaan itu dapat dilihat dari dua segi, yakni horizontaldan vertical. Perbedaan segi horizontal adalah perbedaan individu dalam aspekmental, seperti tingkat kesadaran, bakat, minat, ingatan, emosi, dan sebagainya.Perbedaan vertikal adalah perbedaan individu dalam aspek jasmaniah, seperti:bentuk, tinggi dan besarnya badan, tenaga, dan sebagainya.
Masing-masing aspek individu tersebut besar pengaruhnya terhadap kegiatan dan keberhasilan belajar.Perbedaan individual disebabkan oleh dua faktor, ialah faktor keturunan atau bawaan kelahiran, dan faktor pengaruh lingkungan. Kedua faktor ini memberikanpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan siswa/peserta didik. Mungkin salah satu factor ada yang lebih dominan, namun tetap kedua faktor tersebut masing-masing berpengaruh, dan pada gilirannya ternyata tidak ada dua individu yang sama.
Namun kenyataan dilapangan banyak guru yang tidak mengetahui dan menyadari  bahwa dari sekian  banyak siswa yang dihadapi itu ternyata beragam dalam hal karakteristik fisiknya, kecerdasan (kecakapan), gaya dan cara belajar, komunikasi, mengerjakan tugas, cara menyelesaikan  problem, kepribadian, pola kepemimpinan keluarga, penyesuaian sosial dan emosional.  Maka Bagi para pendidik, sangat penting memahami berbagai keragaman yang dimiliki oleh siswa tesebut. Antara siswa satu dengan yang lainya berbeda kecakapan, jasmani, sosial dan emosinalnya. Ada siswa yang tampak dapat bertindak secara cepat, tepat, dan dengan mudah, lazimnya siswa itu disebut cakap. Ada siswa yang belajarnya lamban, kurang tepat, dan bahkan mengalami kesukaran dalam belajarnya.Hal ini merupaka masalah yang perlu diselsaikan dengan upaya-upaya guru dalam mengetahui potensi-potensi  berbeda yang dimiliki peserta didik.
Upaya pertama yang dilakukan untuk mengetahui perbedaan individu,sebelum dilakukan pengukuran kapasitas mental yang mempengaruhi penilaian sekolah, adalah menghitung umur kronologi. Seorang anak memasuki sekolah dasar pada umur 6 tahun dan ia diperkirakan dapat mengalami kemajuan secara teratur dalam tugas-tugas sekolahnya dilihat dalam kaitannya dengan faktor umur.Selanjutnya ada anggapan bahwa semua anak diharapkan mampumenangkap/mengerti bahan-bahan pelajaran yang mempunyai kesamaan materi danpenyajiannya bagi semua siswa pada kelas yang sama. Ketidakmampuan yang jelastampak pada siswa untuk menguasai bahan pelajaran umumnya dijelaskan denganpengertian faktor-faktor seperti kemalasan atau sikap keras kepala. Penjelasan itutidak berdasarkan pada kenyataan bahwa para siswa memang berbeda dalam halkemampuan mereka untuk menguasai satu atau lebih bahan pelajaran dan mungkinberada dalam satu tingkat perkembangan.
Dalam makalah sederhana ini, pemakalah akan menguraikan beberapa perbedaan individu (individual defferences) yang mencakup arti perbedaan individu, faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan individu, inteligensi, kepribadian dan temperamen, gaya belajar dan gaya berpikir dan budaya dalam kaitannya dengan perbedaan individu.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pengertian, dan tes  Inteligensi ?
2.       Bagaimana konsep gaya belajar dan berpikir dalam belajar ?
3.      Bagaimana ciri-ciri sifat kepribadian dan tempramen ?

C.    TUJUAN
1.      Untuk mengetahui tentang inteligensi, pengukurannya, dan teori inteligensi majemuk.
2.      Untuk mengetahui jenis gaya belajar dan berfikir
3.      Untuk mengetahui ciri sifat kepribadian dan temperamen


4.       
BAB II
ISI

A.  Pengertian Intelegensi
Konsep tentang inteligensi menimbulkan kontrofersi dan debat seru, terlebih manakala inteligensi diukur dan dikuantifikasi dalam bentuk angka. Hal ini disebabkan karena inteligensi sendiri merupakan suatu konsep yang abstrak. Istilah intelegensi berasal dari kata Latin intelligence yang berarti menghubungkan atau menyatukan satu sama lain (to organize, to relate, to bind together) (Walgoti,1997). Intelegensi menurut David Wecshler (1958) didefinisikan sebagai “Keseluruhan kemampuan individu untuk berpikir dan bertindak secara terarah serta mengolah dan menguasai lingkungan secara efektif”.
Beberapa pakar mendeskripsikan inteligensi sebagai keahlian untuk memecahkan masalah. Yang lain mendeskripsikan sebagai kemampuan untuk beradaptasi dan belajar dari pengalaman hidup sehari-hari. Bila dua definisi ini digabungkan maka akan didapat bahwa inteligensi merupakan keahlian untuk memecahkan masalah dan kemampuan untuk beradaptasi pada, dan belajar dari, pengalaman hidup sehari-hari. Dengan perkataan lain, intelegensi adalah kemampuan yang bersifat umum untuk mengadakan penyesuaian terhadap suatu situasi atau masalah. Kemampuan yang bersifat umum tersebut meliputi berbagai jenis kemampuan psikis seperti: abstrak, berpikir mekanis, matematis, memahami, mengingat, berbahasa dan sebagainya.
Intelligere adalah asal kata intelegensi yang biasa kita kenal, yang mengandung arti menghubungkan atau menyatukan satu sama lain.[2] Novelis Inggris abad ke-20 Aldous Huxley mengatakan bahwa anak-anak itu hebat dalam hal rasa ingin tahu dan intelegensinya. Apa yang dimaksud Huxley ketika ia menggunakan kata intelegensi (intelligence)? Intelegensi adalah salah satu milik kita yang paling berharga, tetapi bahkan orang yang paling cerdas sekalipun tidak sepakat tentang apa intelegensi itu[3].
Para ahli mempunyai pengertian yang beragam tentang intelegensi yaitu :
1.      Anita E. Woolfolk mengemukakan bahwa menurut teori-teori lama, intelegensi itu meliputi tiga pengertian, yaitu (1) kemampuan untuk belajar; (2) keseluruhan pengetahuan yang diperoleh; (3) kemampuan untuk beradaptasi secara berhasil dengan situasi baru atau lingkungan pada umumnya. Selanjutnya Woolfolk mengemukakan bahwa intelegensi itu merupakan satu atau beberapa kemampuan untuk memperoleh dan menggunakan pengetahuan dalam rangka memecahkan masalah dan beradaptasi dengan lingkungan.
2.      Alfred Binet, seorang tokoh utama perintis pengukuran intelegensi bersama Theodore simon mendefinisikan intelegensi atas tiga komponen yaitu (a) kemampuan untuk mengarahkan fikiran atau mengarahkan tindakan; (b) kemampuan untuk mengubah arah tindakan bila tindakan tersebut telah dilaksanakan dan (c) kemampuan untuk mengkritik diri sendiri atau melakukan autocriticism.
3.      David Wechsler pencipta skala-skala intelegensi yang populer sampai saat ini, mendefinisikan intelegensi sebagai kumpulan atau totalitas kemampuan seseorang untuk bertindak dalam tujuan tertentu, berfikir secara rasional, serta mengahadapi lingkungannya dengan efektif.
Beberapa pakar mendeskripsikan intelegensi sebagai keahlian untuk memecahkan masalah (problem-solving). Yang lainnya mendeskripsikannya sebagai kemampuan untuk beradaptasi dan belajar dari pengalaman hidup sehari-hari. Dengan mengkombinasikan ide-ide ini kita dapat menyusun definisi inteligensi yang cukup fair:keahlian memecahkan masalah dan kemampuan untuk beradaptasi pada, dan belajar dari, pengalaman hidup sehari-hari. Tetapi, bahkan definisi yang luas ini tidak memuaskan semua orang. Seperi yang akan anda lihat sebentar lagi, beberapa ahli teori mengatakan bahwa keahlian bermusik harus dianggap sebagai bagian dari intelegensi. Juga, sebuah definisi intelegensi yang didasarkan pada teori seperti teori Vygotsky harus juga memasukkan factor kemampuan seseorang untuk menggunakan alat kebudayaan dengan bantuan individu yang lebih ahli. Karena intelegensi adalah konsep yang abstrak dan luas, maka tidak mengherankan jika ada banyak definisi. Jadi menurut Santrock (2008) intelegensi (kecerdasan) adalah keterampilan menyelesaikan masalah dan kemampuan untuk beradaptasi dan belajar dari pengalaman hidup sehari-hari[5]
Wilhelm Stern melihat, titik berat definisi intelegensi terletak pada kemampuan penyesuaian diri (adjustment) seseorang terhadap masalah yang dihadapi.[6] Artinya, orang yang intelegensinya tinggi (cerdas), akan memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri dan memiliki kecakapan dalam menghadapi masalah baru.
Sejalan dengan pendapat Stern, Amsal Amri juga mengemukakan bahwa intelegensi adalah kemampuan untuk melakukan abstraksi, serta berpikir logis dan cepat sehingga dapat bergerak dan menyesuaikan diri terhadap situasi baru. Di sini Amsal melihat ada beberapa aspek kemampuan yang dimaksud, yakni 1) kemampuan kognitif, 2) kemampuan psikomotorik, dan 3) kemampuan afektif. Ketiga hal ini disebut dengan kecerdasan (intelegensi).
Sedangkan Slavin menjelaskan kecerdasan adalah salah satu diantara kata-kata yang diyakini setiap orang bahwa mereka memahaminya hingga anda meminta mereka mendefinisikannya. Pada satu tahap, kecerdasan dapat didefinisikan sebagai bakat umum untuk belajar atau kemampuan untuk mempelajari dan menggunakan pengetahuan atau keterampilan.
Sedangkan Howard Gardner (dalam Sunaryo Kartadinata, 2007: 6), mendefinisikan kecerdasan sebagai:
1.    Kemampuan memecahkan masalah yang muncul dalam kehidupan nyata;
2.    Kemampuan melahirkan masalah baru untuk dipecahkan.;
3.    Kemampuan menyiapkan atau menawarkan suatu layanan yang bermakna dalam kehidupan kultur tertentu.
Lebih lanjut Gardner mendefinisikan Intelegensi sebagai kemampuan untuk memecahkan persoalan dan menghasilkan produk dalam suatu setting yang bermacam-macam dan dalam situasi yang nyata (1983;1993). Gardner menganggap, intelegensi bukan hanya kemampuan dalam memecahkan persoalan yang sifatnya test (teori), yang dilakukan dalam ruang tertutup dan jauh dari realitas persoalan yang dhadapi oleh lingkungannya. Namun intelegensi adalah kemampuan menyelesaikan persoalan yang nyata (real), yang sungguh-sungguh terjadi. Karena menurut Gardner, orang baru dikatakan berintelegensi kalau mampu memecahkan persoalan lingkungan yang benar-benar dia hadapi. Bahkan, Gardner menganggap, tingkat produktifitas (kreatifitas) juga menjadi ukuran intelegensi seseorang
B.  Teori – teori Intelegensi
Spearman berpendapat bahwa setiap individu memiliki General Ability (General Factor/G) dan Specific Ability(Specific Faktor/S).[12] Kedua hal tersebut adalah faktor yang terkandung dalam intelegensi, walau dalam setiap individu faktor-faktor tersebut karakternya berbeda. Sejalan dengan Super dan Cites, yang menganggap intelegensi adalah kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan atau belajar dari pengalaman.[13]
Minat terhadap intelegensi seringkali difokuskan pada perbedaan individual dan penilaian individual (Kaufman & Lictenberger, 2002; Lubinski, 2000; Molfse & Martin, 2001). Perbedaan individual adalah cara dimana orang berbeda satu sama lain secara konsisten dan tetap. Kita bisa berbicara tentang perbedaan individual dalam hal kepribadiannya (personalitas) dan dalam bidang-bidang lain, namun intelegensilah yang paling banyak diberi perhatian dan paling banyak dipakai untuk menarik kesimpulan tentang perbedaan kemampuan murid.
Jika disederhanakan, Prof. Dr. H. Djaali dalam bukunya Psikologi Pendidikan mengatakan bahwa teori intelegensi menurut para ahli adalah sebagai berikut:
1.    Teori Faktor
Charles Spearman mendeskripsikan struktur intelegensi yang terdiri dari General Ability (G) dan Specific Ability(S).
2.    Teori Struktur Intelegensi
Teori ini disampaikan oleh Guilford. Menurut Guilford, struktur kemampuan intelektual seseorang memiliki 150 kemampuan dan memiliki tiga paramater, yaitu operasi, produk, dan konten.
3.    Teori Uni Faktor
Wilhelm Stern beranggapan intelegensi adalah kapasitas atau kemampuan umum. Kapasitas umum tersebut tumbuh akibat pertumbuhan fisiologis ataupun akibat belajar.
4.    Teori Multi Faktor
E.L. Thorndike berpendapat, bahwa intelegensi adalah bentuk hubungan neural antara stimulus dengan respons. Hubungan inilah yang mengarahkan tingkah laku individu.
5.    Theory Primary Ability
Thurstone membagi intelegensi menjadi kemampuan primer yang terdiri atas kemampuan numerical/matematis, verbal atau bahasa, abstraksi, berupa visualisasi atau berpikir, membuat keputusan, induktif maupun deduktif, mengenal atau mengamati, dan mengingat.
6.    Teori Sampling
Menurut teori ini, intelegensia merupakan berbagai kemampuan sampel. Hal ini dikarenakan pandangan Godfrey H. Thomson yang memandang dunia sebagai kumpulan-kumpulan pengalaman.
7.    Entity Theory
Intelegensi dianggap sebagai suatu kesatuan yang tetap dan tidak berubah-ubah.
8.    Incremental Theory
Teori ini menganggap, setiap individu mempunyai potensi untuk cerdas, dan kecerdasan tersebut bisa ditingkatkan melalui proses belajar.
9.    Teori Multiple Intelegensi
Teori multiple intelegensi ini disampaikan oleh Gardner. Menurut Gardner intelegensi manusia memiliki tujuh dimensi yang semiotonom, yaitu linguistik, musik, matematik logis, visual spesial, kinestatik fisika, sosial interpersonal, dan intrapersonal. Setiap dimensi tersebut memiliki kompetensi yang eksistensinya berdiri sendiri dalam sistem neuron. Artinya tidak terbatas pada yang bersifat intelektual.
Berdasarkan pemaparan di atas maka dapat ditarik kesimpulan, bahwa intelegensi (kecerdasan) adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki oleh setiap individu dalam merespon dan menyesuaikan diri dengan lingkungannya, serta tingkat produktifitas dan kreatifitas dalam memecahkan persoalan yang dihadapi.
Dalam pembahasan selanjutnya, kami akan memaparkan teori multiple intelegensi yang digagas oleh Gardner. Karena teori multiple intelegensi lebih banyak bersentuhan dengan aspek-aspek yang terdapat dalam diri manusia.
C.  Tes Intelegensi
Tes inteligensi individual pertama kali dikembangkan oleh psikolog Alfred Binet dan dibantu oleh mahasiswanya Theopild Simon. Binet dan Simon mengembangkan konsep mental age (MA) atau usia mental yakni level perkembangan individu yang berkaitan dengan perkembangan lain. Tak lama kemudian, William Stern menciptakan konsep Intelligence Quotient (IQ), yaitu usia mental seseorang dibagi dengan usia kronologis dikalikan dengan 100. Jika usia mental sama dengan usia kronologis maka IQ orang itu sama dengan 100. Jika usia mental seseorang lebih dari usia kronologis maka IQ orang itu lebih dari 100. Jika usia mentalnya kurang dari usia kronologis maka IQ orang itu akan kurang dari 100. Tes Binet ini selanjutnya direvisi dan revisi terakhir yang sampai sekarang banyak dipakai untuk mengukur inteligensi murid adalah Standford-Binet.
Selain standford-binet, tes lain yang bisa digunakan untuk mengukur inteligensi seseorang adalah skala wechsler yang dikembangkan oleh David Wechsler. Tes ini digunakan selain untuk menunjukkan IQ secara keseluruhan juga menunjukkan IQ verbal dan IQ kinerja.

Pada tahun 1904 Menteri pendidikan Perancis meminta psikolog Alfred Binet untuk menyusun metode guna mengidentifikasi anak-anak yang tidak mampu belajar disekolah. Para pejabat disekolahan ingin mengurangi sekolahan yang sesak dengan cara memindahkan murid yang kurang mampu belajar di sekolah umum ke sekolah khusus. Binet dan mahasiswanya, Theophile Simon, menyusun tes inteligensi untuk memenuhi permintaan ini. Tes itu disebut skala 1905. Tes ini terdiri dari 30 pertanyaan, mulai dari kemampuan untuk menyentuh telinga hingga kemampuan untuk menggambar desain berdasarkan ingatan dan mendefinisikan konsep abstrak.
1.    Tes Intelegensi Individual ( Tes Binet dan Skala Wechsler)
 Alfred Binet dan Theodor Simon, 2 orang psikolog asal Perancis merancang suatu alat evaluasi yang dapat dipakai untuk mengidentifikasi siswa-siswa yang memerlukan kelas-kelas khusus (anak-anak yang kurang pandai). Alat tes itu dinamakan Tes Binet-Simon. Tes ini kemudian direvisi pada tahun 1911.
Binet mengembangkan konsep mental age (MA) atau usia mental yakni perkembangan mental individu yang berkaitan dengan perkembangan lain. Tak lama kemudian, pada 1912 Wiliam Stern menciptakan konsep Intelegensi Quotient (IQ) yaitu usia mental seseorang dibagi dengan usia kronologis (chronological age-CA) dikalikan 100. Jadi rumusnya,
IQ = (MA/CA)*100.
Jika usia mental sama dengan usia kronologis, maka IQ orang itu adalah 100. Jika usia mental di atas kronologis, maka-IQnya lebih dari 100. Misalnya, anak enam tahun dengan usia mental 8 tahun akan mempunyai IQ 133. Jika usia mentalnya dibawah usia kronologis, maka IQnya di bawah 100. Misalkan anak usia 6 dengan usia mental 5 akan punya IQ 83. Berikut adalah klasifikasi IQ menurut Binet:
KLASIFIKASI
IQ
Genius
140 ke atas
Sangat cerdas
130 – 139
Cerdas (superior)
120 – 129
Di atas rata-rata
110 – 119
Rata-rata
90 – 109
Di bawah rata-rata
80 – 89
Garis Batas (bodoh)
70 – 79
Moron (lemah pikir)
50 – 69
Imbisil,idiot
49 ke bawah

Tahun 1916, Lewis Terman, seorang psikolog dari Amerika mengadakan banyak perbaikan dari tes Binet-Simon. Sumbangan utamanya adalah menetapkan indeks numerik yang menyatakan kecerdasan sebagai rasio (perbandingan) antara mental age dan chronological age. Hasil perbaikan ini disebut Tes Stanford_Binet. Indeks seperti ini sebetulnya telah diperkenalkan oleh seorang psikolog Jerman yang bernama William Stern, yang kemudian dikenal dengan Intelligence Quotient atau IQ. Tes Stanford-Binet ini banyak digunakan untuk mengukur kecerdasan anak-anak sampai usia 13 tahun.
Salah satu reaksi atas tes Binet-Simon atau tes Stanford-Binet adalah bahwa tes itu terlalu umum. Seorang tokoh dalam bidang ini, Charles Sperrman mengemukakan bahwa inteligensi tidak hanya terdiri dari satu faktor yang umum saja (general factor), tetapi juga terdiri dari faktor-faktor yang lebih spesifik. Teori ini disebut Teori Faktor (Factor Theory of Intelligence). Alat tes yang dikembangkan menurut teori faktor ini adalah WAIS (Wechsler Adult Intelligence Scale) untuk orang dewasa, dan WISC (Wechsler Intelligence Scale for Children) untuk anak-anak.

Distribusi normal adalah simetris, dengan mayoritas skor berada pada tengah-tengah rentang skor yang mungkin muncul dan hanya ada sedikit skor yang berada mendekati ujung dari rentang itu.
Tes Stanford binet kini dilakukan secara individual untuk orang dari usia 2 tahun hingga dewasa. Tes ini memuat banyak item beberapa diantaranya membutuhkan jawaban verbal, yang lainnya respon non verbal.
Edisi keempat tes Stanford-Binet dipublikasikan pada 1985. Salahsatu penambahan penting pada versi ini adalah analisis respons individual dari segi empat fungsi: penalaran verbal, penalaran kuantitatif, penalaran visual abstrak, dan memori jangka pendek. Skor komposit umum masih dipakai untuk mengetahui keseluruhan inteligensi. Tes Stanford-Binet masih menjadi salah satu tes yang paling banyak digunakan untuk menilai inteligensi murid (Aiken, 2003; Walsh&Betz, 2001).
Tes lainnya yang banyak dipakai untuk menilai intelegensi murid dinamakan skala weshsler yang dikembangkan oleh David Wechsler. Tes ini mencakup Weshsler Pre school and Primary scale of Intellegensi Revised(WPPSI-R) untuk menguji anak usia 4-6,5 tahun; Weshsler Intellegensi Scale for Children- Revised (WISC-R) untuk anak dan remaja dari usia 6-16 tahun; dan Weshsler Adult Intellegensi Scale-Revised (WAIS-R) untuk orang dewasa.
Selain menunjukan IQ keseluruhan, skala Weshsler juga menunjukan IQ verbal dan IQ kinerja. IQ verbal didasarkan pada 6 sub skala verbal, IQ kinerja didasarkan pada 5 sub skala kinerja. Ini membuat peneliti bias melihat dengan cepat pola-pola kekuatan dan kelemahan dalam area intelegensi murid yang berbeda-beda (Woolger 2001)
Berikut adalah Klasifikasi menurut Wechsler:
KLASIFIKASI
IQ
Very Superior
130 ke atas
Superior
120 –129
Bright Normal
110 –119
Average
90 – 109
Dull Normal
80 – 89
Borderline
70 –79
Mental Deffective
69 ke bawah

2.    Tes Intelegensi Kelompok
Siswa dapat di berikan tes intelegensi dalam kelompok. Tes intelegensi meliputi Lorge- Trondike dan tes kemampuan sekolah Otis Lennon (Otis Lennon School Ability Test- OLSAT). TES INTEGENSI NKELOMPOK LEBIH NYAMAN DAN EKONOMIS DARPADA TES INDIVIDU, TAPI MEMILIKI KELEMAHAN. Ketika tes di berikan kepada kelompok besar, pemeriksa tidak bisa menjalin hubungan, menentukan tingkat kecemasan siswa dan sebagainya. Dalam situasi pengujian kelompok-, siswa mungkin tidak memahami intruksi atau mungkin terganggu oleh siswa lain. Karena keterbatasan tersebut, saat keputusan penting yang dibuat mengenai siswa, tes imntegensi kelompok harus selalu di lengkapin dengan informasi lain mengenai kemampuan siswa. Untuk itu, strategi yang sam berlaku untuk tes intelegensi individual meskipun memiliki keunggulan pada akurasinya. Namun yang pasti, keputusan untuk menempatkan siswa di kelas bagi siswa yang memiliki keterbelakangan mental, kelas pendidikan khusus, atau kelas bagi siswa yang berbakat tidak harus berdasarkan pada tes kelompok saja. Dalam hal demikian, jumlah ektensif informasi yang relevan tentang kemampuan siswa harus diperoleh diluar situasi pengujian.





D.  Teori Intelegensi Majemuk
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dipahami bahwa kecerdasan adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki oleh individu dalam menghadapi masalah yang ada di lingkungannya. Setiap individu dengan individu lainnya memiliki kemampuan yang berbeda-beda. Gardner berpendapat, bahwa kemampuan itu sendiri memiliki banyak jenis dan dimensi. Keanekaragaman jenis kemampuan-kemampuan inilah yang disebut dengan kecerdasan majemuk (multiple intelegensi). Realita inilah yang mendorong Gardner menelurkan gagasannya tentang multilpe intelegensi(kecerdasan majemuk).
Menurut teori ini, setiap anak yang terlahir di dunia tidak ada yang bodoh. Semuanya memiliki kesempatan dan hak untuk disebut sebagai orang yang cerdas. Pendapat Gardner ini membuka wawasan kita tentang hakikat dari kecerdasan. Selama ini penilaian tentang kecerdasan hanya terbatas pada sesuatu yang sempit dan statis. Namun Gardner – dan para ahli lainnya – memaknai kecerdasan sebagai kemampuan seseorang dalam beradaptasi, lebih jauh Gardner menambahkan penekanannya pada aspek atau dimensi psikologis manusia yang membentuk jenis-jenis kemampuan tersebut.
Ada dua teori utama dalam perdebatan teori multiple intelligence yakni teori Triarkis Sternberg dan teori multiple intelligence  Gardner. Menurut sternberg, inteligensi muncul dalam tiga bentuk bentuk:
1.    Analitis, merupakan intelegensi yang melibatkan kemampuan untuk menganalisis , menilai, mengevaluasi, membandingkan.
2.    Kreatif, merupakan intelegensi yang terdiri atas kemampuan untuk menciptakan , mendesain, menemukan, orisinalitas, dan membayangkan.
3.    Praktis, merupakan intelegensi yang berfokus pada kemampuan untuk menggunakan, menerapkan, melaksanakan, dan memasukkan ke dalam praktik.



Dan menurut Gardner inteligensi muncul dalam tujuh  bentuk bentuk
1.      Keterampilan verbal, merupakan kemampuan untuk berfikir kata-kata dan berbicara menggunakan bahasa untuk mengekspresikan makna (penulis, jurnalis, pembicara)
2.      Keterampilan matematika, merupakan kemampuan untuk melaksanakan operasi matematika ( ilmuwan insinyur, akuntan)
3.      Keterampilan spasial, merupakan kemampuan untuk berfikir tiga dimensi ( arsitek, seniman, pelaut)
4.      Keterampilan kinestetik-jasmani, merupakan kemampuan untuk memanipulasi objek dan fisik secara mahir ( ahli bedah, kerajinan rakyat, penari, dan atlet).
5.      Keterampilan musik, merupakan kemampuan kepekaan terhadap pitch, melodi, irama, dan nada ( komposer, musisi, dan terapis musik)
6.      Keterampilan intrapersonal, merupakan kemampuan untuk memahami dan secara efektif ( teolog, psikolog).
7.      Keterampilan interpersonal, merupakan kemampuan untuk memahami dan secara efektif berinteraksi dengan orang lain ( guru sukses, profesional kesehatan mental).
8.      Keeterampilan naturalis, merupakan kemampuan untuk mengamati pola di alam dan memahmi sistem alam dan buatan manusia ( petani, ahli botani, ekologi, ahli tanaman)

Terkait macam-macam intelegensi yang dipaparkan oleh Gardner, Prof. Dr. H. Djaali memetakan ada tujuh jenis seperti yang sudah kami sebutkan di atas. Namun dalam beberapa referensi lainnya, seperti yang dipaparkan oleh Sunardi dkk, multiple intelegensi  yang dipaparkan oleh Gardner ada 10 macam intelegensi.
Sunardi dkk, sesuai dengan teori multiple intelegensi yang disampaikan oleh Gardner, membagi kecerdasan dengan 10 bidang (aspek) dalam psikologi manusia. Berdasarkan pendekatan tersebut, kecerdasan atau intelegensi ada 10 macam, yaitu:
1.    Kecerdasan linguistic (linguistik intelligence)
Adalah kemampuan untuk berfikir dalam bentuk kata-kata dan menggunakan bahasa untuk mengekpresikan dan menghargai makna yang komplek, yang meliputi kemampuan membaca, mendengar, menulis, dan berbicara.
2.    Intelegensi logis-matematis (logical matematich)
Adalah kemampuan dalam menghitung, mengukur dan mempertimbangkan proposisi dan hipotesis serta menyelesaikan operasi-operasi matematika.
3.    Intelegensi musik (musical intelegence)
Intelegensi musik adalah kecerdasan seseorang yang berhubungan dengan sensitivitas pada pola titik nada, melodi, ritme, dan nada. Musik adalah bahasa pendengaran yang menggunakan tiga komponen dasar yaitu intonasi suara, irama dan warna nada yang memakai system symbol yang unik.
4.    Intelegensi Kinestetik
Kinestetik adalah belajar melalui tindakan dan pengalaman melalui panca indera. Intelegensi kinestetik adalah kemampuan untuk menyatukan tubuh atau pikiran untuk menyempurnakan pementasan fisik. Dalam kehidupan sehari-hari dapat diamati pada actor, atlet atau penari, penemu, tukang emas, mekanik.
5.    Intelegensi Visual-spasial
Intelegensi visual-spasial merupakan kemampuan yang memungkinkan memvisualisasikan informasi dan mensintesis data-data dan konsep-konsep ke dalam metavor visual.
6.    Intelegensi Interpersonal
Intelegensi interpersonal adalah kemampuan untuk memahami dan berkomunikasi dengan orang lain dilihat dari perbedaan, temperamen, motivasi, dan kemampuan.
7.    Intelegensi Intrapersonal
Adalah kemampuan seseorang untuk memahami diri sendiri dari keinginan, tujuan dan system emosional yang muncul secara nyata pada pekerjaannya.
8.    Intelegensi Naturalis
Adalah kemampuan untuk mengenal flora dan fauna melakukan pemilahan-pemilahan utuh dalam dunia kealaman dan menggunakan kemampuan ini secara produktif, misalnya untuk berburu, bertani, atau melakukan penelitian biologi.
E.  Intelegensi Emosional
Konsep Intelegensi Emosional yang dikembangkan oleh Peter Salovey dan John Mayer ( 1990 ) sebagai kemampuan untuk memahami dan mengekspresikan emosi secara akurat dan adaptif ( seperti mengambil perspektif terhadap orang lain) , untuk memahami emosi dan mengetahui pengetahuan emosional ( serta memahami peran yang emosi mainkan dalam persahabatan dan hubungan lain), menggunakan perasaan untuk memfasilitasi pemikiran( seperti berada di suasana hati yang positif yang terkait dengan berfikir kreatif ) , dan mengelola emosi diri sendiri dan orang lain ( seperti mampu mngendalikan amarah seseorang).
Gardner
Sternberg
Salovey/Mayer
Verbal Matematika
Analisis

Spasial Gerakan Musikal
Kreatif

Interpersonal
Intrapersonal
Praktis
Emosional
Naturalistik


Konsep kecerdasan emosional dikembangkan oleh Daniel Goleman. Goleman percaya bahwa untuk memprediksi kompetensi seseorang, IQ seperti yang diukur dengan menggunakan tes kecerdasan ternyata tidak lebih penting dari kecerdasan emosional. Menurutnya, emotional intelligence terdiri dari empat area yakni:
1.      Developing emotional awarenes; seperti kemampuan untuk memisahkan perasaan dari tindakan.
2.      Managing emotions; seperti mampu untuk mengendalikan amarah.
3.      Reading emotions; seperti memahami perspektif orang lain.
4.      Handing relationship; seperti kemampuan untuk memecahkan problem hubungan dengan orang lain.

F.   Kontroversi dan Isu dalam Intelegensi
1.      Alam dan Asuhan
Rushton & Ankney
Intelegensi terutama diwariskan dan bahwa pengalaman lingkungan hanya memainkan peranan kecil dalam manifestasinya
Grigorenko & Takanishi; Preis & Sternberg
Lingkungan juga memainkan peran penting dalam intelegensi
William Greenough
Mengibaratkan alam dan asuhan seperti panjang dan lebar pada persegi panjang

2.      Etnis dan Budaya
a. Perbandingan Etnis
Secara rata-rata, anak - anak Afro - Amerika mencetak 10 - 15 point lebih rendah pada tes intelegensi standar di bandingkan anak - anak kulit putih.Tetapi sekitar 15 - 25 % dari anak - anak Afro Amerika memiliki skor yang lebih tinggi dari separuh anak-anak kulit putih, dan banyak anak kulit putih mencetak nilai lebih rendah dari kebanyakan Afro Amerika. Maka dapat disimpulkan bahwa perbedaan etnis tidak mempengaruhi intelegensi seseorang.

b.Bias Budaya
Banyak dari tes awal intelegensi bias budaya, mendukung anak-anak perkotaan atas pedesaan anak dari kelurga berpenghasilan menengah atas anak dari keluarga berpenghasilan rendah, dan anak kulit putih atas anak-anak minoritas ( Miller - Jones, 1989). Untuk itu terdapat tes keadilan budaya yang bertujuan untuk menhindari bias budaya. Dua jenis tes keadilan budaya :
1.    Mencakup pertanyaan akrab dari semua latar belakang sosial ekonomi dan etnis.
2.    Tipe tes keadilan budaya tidak mengandung pertanyaan lisan.
Menurut Shiraev & Levy (2010 ), kebanyakan tes cenderung mencerminkan apa yang budaya dominan pikir adalah penting. Kerena kesulitan tersebut dalam menciptakan tes keadilan budaya Robert Stenberg dan rekan-rekannya menyimpulkan bahwa tidak ada tes keadila budaya tetapi hanya tes berkurangnya budaya.
3.      Pengelompokan dan Pelacakan Kemampuan
Sering kita temukan penggunaan skor siswa pada tes intelegensi untuk menempatkan mereka dala kelompok kemampuan mereka salah satu contohnya pengelompokan kelas.
Dibawah ini tabel perbandingan sisi positif dan negatif pengelompokan dan pelacakan tersebut :
Positif
Negatif
Mempersempit jangkauan keterampilan dalam sekelompok siswa sehingga lebih mudah mengajar mereka.
Adanya labeling sebagai jalur rendah ( Bank, 2010).
Mencegah siswa kurang mampu dari kegiatan menahan siswa lebih berbakat
Sering memiliki guru yang kurang berpengalaman, sumber daya ebih sedikit, dan harapan yang lebih rendah ( Wheelock, 1992)

Para peneliti mengungkapkan bahwa pelacakan tidak membahayakan prestasi siswa jalur renah ( Kelly, 2008). Namun, tampaknya menguntungkan siswa jalur tinggi.
G.  Gaya Belajar dan Gaya Berpikir
Inteligensi mengacu pada kemampuan.  Gaya belajar dan berfikir bukan kemampuan melainkan pilihan cara untuk menggunakan kemampuan seseorang (Zhang & sternberg,2009). Pendekatan belajar  berfikir anak dalam berbagai car ayang menajubkan. Guru sendiri juga bervariasi dalam gaya mereka belajar dan berfikir. Tidak satupun dari kita memiliki hanya satu gaya belajar dan berfikir, masing-masing dari kita memiliki profil dari banyak gaya. Individu bervariasi sehingga ratusan gaya belajar dan berfikir telah di usulkan oleh pendidik dan psikolog.
1. Gaya impulsif-reflektif
Gaya impulsif-reflektis sering dikenal dengan tempo konseptual. Yakni murid cendrung bertindak cepat dan impulsif atau menggunakan lebih banyak waktu untuk merespons dan merenungkan akurasi dari suatu jawaban. Murid yang impulsif seringkali lebih banyak melakukan kesalahan ketimbang murid yang reflektif. Dibandingkan murid yang impulsif, murid yang reflektif juga lebih mungkin untuk menentukan sendiri tujuan belajar dan berkonsentrasi pada informasi yang relevan. Mereka biasanya memiliki standar kerja yang tinggi. Dikotomi ini melibatkan kecenderung siswa untuk bertindak cepat dan impulsif atau untuk mengambil lebih banyak waktu dalam respon dan merenungkan akurasi jawaban. Siswa impulsif biasanya membuat lebih banyak membuat kesalahan daripada siswa reflektif.
2. Gaya mendalam-dangkal
Maksudnya ialah sejauh mana murid mempelajari materi belajar dengan satu cara yang membantu mereka untuk memahami materi tersebut (gaya mendalam) atau sekedar mencari apa yang perlu untuk dipelajari (gaya dangkal). Murid yang belajar dengan gaya dangkal tidak bisa mengaitkan apa yang mereka pelajari dengan kerangka konseptual yang lebih luas. Mereka cendrung belajar secara pasif, hanya mengingat informasi. Sementara itu murid yang menggunakan gaya belajar mendalam lebih mungkin untuk secara aktif memahami apa yang mereka pelajari dan memberi makna pada apa yang perlu untuk diingat. Pelajar mendalam lebih mungkin memotivasi diri sendiri untuk belajar dibandingkan dengan pelajar dangkal yang akan termotivasi bila ada penghargaan dari luar seperti pujian dan tanggapan positif dari guru.
Ketergantungan lapangan versus ketidakbergantungan lapangan, Orang-orang yang bergantung pada lapangan cenderung melihat pola secara keseluruhan dan mengalami kesulitan dalam memisahkan aspek-aspek tertentu suatu situasi atau pola. Sedangkan orang yang tidak bergantung pada lapangan lebih mampu melihat bagian-bagian yang membentuk suatu pola yang besar. Selain itu, orang yang bergantung pada lapangan cenderung lebih berorientasi pada orang dan hubungan sosial dari pada orang-orang yang tidak bergantung pada lapangan (Slavin, 2004: 168).
H.  Kepribadian dan temperamen
1. Kepribadian
Kepribadian atau personalitas ialah pemikiran, emosi dan perilaku tertentu yang menjadi ciri dari seseorang menghadapi dunianya. Kepribadian mencakup lima hal yang menjadi ciri bawaan yang menonjol yakni, openness (keterbukaan terhadap pengalaman), conscientiousness (kepatuhan), extraversion (keterbukaan terhadap orang lain), agreebleness (kepekaan nurani), neoroticism (stabilitas emosional).
Dalam konteks pembelajaran, guru harus dapat mendalami dan memahami keanekaragaman karakteristik kepribadian muridnya. Dengan demikian, kegiatan pembelajaran menjadi suatu kegiatan yang menyenangkan walau dijalankan dalam situasi yang beragam.
Beberapa peneliti kepribadian  berpendapat bahwa mereka telah mengidentifikasi  lima besar faktor kepribadian ,”sifat super” untuk menggambarkan dimensi utama kepribadian :
a.    Keterbukaan
b.    Kesadaran
c.    Ektraversi
d.    Keramahan
e.    neurotisme (stabilitas emosi).
Lima besar faktor dapatb memberikan kerangka kerja untuk berfikir mengenai ciri-ciri kepribadian siswa. Siswa akan berbeda dalam stabilitas emosi mereka, bagaimana mereka terbuka atau tertutup, bagaimana terbuka terhadap pengalaman, bagaimana menyenangkan mereka,  dan bagaimana mereka bersifat teliti.
2. Temperamen
Temperamen adalah gaya perilaku seseorang dan cara khasnya dalam memberi tanggapan atau respons. Beberapa murid bertemperamen aktif, sedangkan yang lainnya tenang. Beberapa murid merespons orang lain dengan hangat sedangkan yang lainnya secara sambil lalu. hal inilah yang mngindikasikan adanya variasi temperamen dalam diri siswa.
Temperamen dikategorikan dalam tiga kelompok sebagaimana yang dikelompokkan oleh Chees dan Thomas, yakni: anak mudah (easy child), anak sulit (difficut child) dan anak lambat bersikap hangat (slow-to-warm-up child). Pengelompokkan atas temperamen ini kemudian direvisi kembali oleh Rothbard dan Bates yang lebih memfokusnya pada (1) sikap dan pendekatan positif; (2) sikap dan pendekatan negatif; (3) usaha kontrol atau pengaturan diri.
Dalam konteks pembelajaran, ada beberapa strategi yang berhubungan dengan temperamen murid, yakni memberi perhatian dan penghargaan pada individualitas, memperhatikan strukstur lingkungan murid, dan waspada terhadap problem yang dapat muncul apabila memberi cap sulit bagi seorang anak yang menyusun paket program untuk anak sulit.
Diskripsi dari tiga dimensi tempramen ( Rothbart,2004  hlm.495)
1.      ekstraversi / surgensi  termasuk “ antisipasi positif, impulsif, tingkat aktivitas, dan mencari sensasi.
2.      Pengaruh negatif terdiri atas anak-anak yang mudah tertekan “ ketakutan, frustasi, kesedihan dan ketidaknyamanan.” Mereka mungkin resah dan sering menangis.
3.      Kontrol penuh usaha ( pengagturan diri).perhatian dan pergeseran fokus, kontrol inhibisi, sensitivitas presepsi, dan intensitas kesenangan rendah.” Anak-anak yang tinggi pada kontrol penuh usaha menunjukkan kemampuan untuk menjaga gairah mereka dari mendapatkan terlalu tinggi dan memiliki strategi untuk menengkan diri. Sebaliknya, anak-anak pada kontrol usaha rendah sering tidak dapat mengendalikan gairah mereka, mereka menjadi mudah gelisah dan sangat emosional . studi baru-baru ini pada anak-anak usia sekolah di amerika serikat dan china mengungkapakan dalam kedua budaya kontrol usaha rendah dikaitkan dengan eksternalisasi masalah, seperti berbohong, menipu, tidak taat, dan menjadi terlalu agresif.




BAB III
KESIMPUILAN
Perbedaan individu merupakan topik pembicaraan dalam psikologi pendidikan yang tak akan habis didiskusikan dari zaman ke zaman. Dewasa ini, konsep perbedaan individu semakin ramai dibicarakan dan diperhatikan banyak pihak khususnya dalam bidang pendidikan. betapa tidak, pengaruh globalisasi dan pesatnya perkembangan telah menggeser pola pikir, tindak dan karsa manusia. Oleh karena itu, dalam bidang pendidikan sangat perlu untuk mendalami perbedaan individu para pebelajar.
Dari uraian-uraian yang disampaikan dalam makalah ini, maka pemakalah  dapat menyimpulkan beberapa hal yang terkait dengan perbedaan individu, sebagai berikut
1.      Perbedaan individu merupakan suatu hakikat manusia, karena tidak ada satu pun manusia di dunia ini yang sama. Walau mirip, namun keduanya tetap tidak sama. Untuk mendalami ini ialah tugas dari psikologi perkembangan. Dan para psikolog telah menemukan bahwa perkembangan individu sangat dipengaruhi oleh hereditas (faktor internal) dan lingkungan (eksternal).
2.      Perbedaan individu dalam dunia pendidikan tampak dalam perbedaan inteligensi, kepribadian dan temperamen, budaya (sosio-ekonomi, bahasa, gender, situasi sosial kemasyarakatan, suku/ras) dan juga perbedaan gaya berpikir dan gaya belajar siswa.
3.      Merupakan usaha/upaya guru (pendidik) dan juga semua stake-holders dalam dunia pendidikan agar memperhatikan dan mendalami berbagai gejala dan fakta perbedaan individu dalam konteks pembelajaran. Pendidikan multikultural dan pendidikan berwawasan kesetaraan, pendidikan dwibahasa merupakan contoh upaya dalam memajukan pendidikan yang mampu merangkum semua peserta didik yang berbeda dalam satu kesatuan kegiatan pembelajaran.

DAFTAR PUSTAKA

Allport, G.W., Pola dan Pertumbuhan dalam Kepribadian. New York: Holt, Rinehart & Winston, 1961
Dalyono. M., Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta 2007
Depoter, Bobbi & Mike Hernachi. Quantum Learning Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan. Bandung: Kaifa, 1999
Gale, A. dan Eysenck, M.W., Buku Pegangan Perbedaan Individu: Perspektif Biologi. Chichester: Wiley, 1991
Hartono S., Perkembangan Peserta Didik, Jakarta: Rineka Cipta,  1999
Makmun.S.A., Psikologi Pendidikan. Bandung: Rosda Karya Remaja, 2003
Maltby, J. Day, L. dan MacAskill, A. Kepribadian, Perbedaan Individu dan Intelijen. Jakarta: Pearson, 2007
Purwanto, N. Psikologi Pendidikan, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1998
Santrock, John W., terj. Tri Wibowo. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Kencana, 2008
Semiawan, C. Perspektif Pendidikan Anak Berbakat, Jakarta: Grasindo, 1977
Slavin, E.Robert, terj. Samosir, Marianto. Psikologi Pendidikan, Teori dan Praktek, ed. Ke-9 jilid 1. Jakarta:  PT Indeks, 2008



Tidak ada komentar:

Posting Komentar