MAKALAH
PROSES
KOGNITIF KOMPLEKS

DISUSUN OLEH KELOMPOK VI
1. THOMAS
MBENU NULANGI (15701251017)
2. BANGUN
HUTAMA WARDANA (15701251031)
3. EVANA
GINA SHANTIKA (15701251035)
PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI PENELITIAN DAN EVALUASI
PENDIDIKAN (PEP)
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2015
DAFTAR
ISI
KATA
PENGANTAR................................................................................................ ii
DAFTAR
ISI.............................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah............................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN
A.
Pemahaman Konseptual dan Strategi Mengajarkan Konsep
1.
Apakah itu konsep................................................................................ 3
2.
Mempromosikan pembentukan konsep................................................ 4
B.
Beberapa
Proses Berpikir dan Aplikasinya Untuk Pemecahan Masalah
1.
Proses Berpikir
a.
Apakah itu berfikir......................................................................... 5
b.
Penalaran........................................................................................ 6
c.
Berpikir kritis................................................................................. 8
d.
Pengambilan keputusan............................................................... 11
e.
Berpikir kreatif............................................................................. 12
2.
Pemecahan masalah
a.
Langkah-langkah pemecahan masalah........................................ 14
b.
Hambatan untuk memecahkan masalah....................................... 16
c.
Perubahan perkembangan............................................................ 17
d.
Pembelajaran berbasis masalah perkembangan berbasis
proyek 18
C.
Cara Mentransfer dan Memperkuat Proses Berpikir
Kompleks Untuk
Pemecahan Masalah
1.
Apakah itu transfer............................................................................. 20
2.
Jenis transfer....................................................................................... 21
3.
Praktik budaya dan transfer................................................................ 22
BAB III PENUTUP
Kesimpulan........................................................................................................... 23
DAFTAR PUSTAKA
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami haturkan kepada Tuhan
Yang Maha Esa karena atas limpahan rahmat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah psikologi ini dengan baik. Pada makalah ini, kami menyajikan tema yang diberikan khusus oleh dosen yakni “ Proses Kognitif Kompleks”.
Makalah ini ditulis dengan tujuan
agar para pembaca dapat memahami proses kognitif kompleks yang terjadi pada siswa.
Selain itu, makalah ini juga disusun agar para guru ataupun calon guru dapat memberikan pemahaman konseptual yang baik kepada siswa sehingga para siswa dapat menyelesaikan masalahnya sendiri dengan lebih baik.
Dalam makalah ini
menyajikan bagaimana cara yang baik dalam memberikan pemahaman konseptual kepada siswa, agar konsep yang diterima dapat membantu siswa dalam pemecahan masalah yang
dihadapinya. Dengan konsep
yang ada, para siswa dapat mentransfer konsep tersebut kepada teman lainnya.
Sehingga sangat diharapkan agar para guru ataupun calon guru dapat memahami dengan baik cara memberikan pemahaman konseptual kepada siswa.
Kami
juga menyadari bahwa makalah yang kami tulis ini masih memiliki banyak kekurangan, untuk itu kami mengharapkan kritik dan
saran dari semua pihak untuk penyempurnaan makalah ini.
Jogjakarta,
18 Oktober 2015
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Berpikir adalah memanipulasi atau mengelola dan
mentransformasi informasi dalam memori. Ini sering dilakukan untuk membentuk
konsep, bernalar dan berpikir kritis, membuat keputusan, berpikir kreatif, dan
memecahkan masalah. Siswa dapat berpikir tentang hal-hal yang konkret, seperti
liburan ke pantai atau cara menang dalam permainan video game, atau apabila
mreka sudah di usia sekolah menengah, mereka bisa berfikir tentang hal-hal yang
lebih abstrak, seperti makna kebebasan atau identitas. Mereka dapat berpikir
tentang masa lalu (seperti apa yang terjadi pada mereka bulan lalu), dan masa
depan (seperti apa kehidupan mereka nanti di tahun 2020). Mereka dapat
memikirkan realitas (seperti bgaimana ujian besok dengan lebih baik) dan
rantasi (seperti apa rasanya menjadi seorang artis, atau tokoh politik seperti
Jusuf Kalla atau naik pesawat luar angkasa ke Mars, dll)
Proses berpikir berkaitan dengan tingkah laku dan
memerlukan keterlibatan aktif pemikirnya. Produk berpikir seperti pikiran,
pengetahuan, alasan, serta proses yang lebih tinggi seperti penilaian dapat
juga dihasilkan. Kaitan kompleks dikembangkan melalui berpikir ketika digunakan
sebagai bukti dari waktu ke waktu. Kaitan ini dapat dihubungkan pada struktur
yang terorganisasi dan diekspresikan oleh pemikir dalam beragam cara. Jadi
definisi ini menunjukkan bahwa berpikir merupakan suatu upaya kompleks dan
reflektif dan juga pengalaman kreatif.
Kemampuan berpikir inilah yang merupakan faktor penting
dalam proses pembelajaran siswa. Kemampuan berpikir seseorang dapat
dikembangkan melalui belajar, bertanya terus pada diri sendiri, memiliki
keinginan untuk menghasilkan sesuatu yang baru, berkemauan memanfaatkan sesuatu
yang ada di sekitar, sehingga menghasilkan sesuatu yang berguna bagi dirinya
maupun bagi orang lain. Kemampuan berpikir ini dimungkinkan untuk berkembang
karena manusia memiliki rasa ingin tahu yang selalu terus berkembang. Berarti
keterampilan berpikir setiap orang akan selalu berkembang dan dapat dipelajari.
Depdiknas (2003) menegaskan salah satu kecakapan hidup (life skill) yang
perlu dikembangkan melalui proses pendidikan adalah keterampilan berpikir.
Berarti hal ini menunjukkan bahwa seseorang untuk dapat berhasil dalam
kehidupannya antara lain ditentukan oleh keterampilan berpikirnya, terutama
dalam upaya memecahkan masalah kehidupan yang dihadapinya.
Literatur baru tentang berpikir menyajikan daftar ganda
tentang proses kognitif yang dapat dipertimbangkan sebagai keterampilan
berpikir. Beyer menekankan pentingnya mendefinisikan keterampilan secara akurat
dan menyarankan untuk mereview kerja
para peneliti seperti Blo-om, Guilford, dan Feuerstein untuk menemukan definisi
yang bermakna tentang berpikir. Agar tidak bingung membedakan proses seperti
inkuiri dan mengingat sederhana. Beyer konsisten dengan para peneliti
sebelumnya tentang proses kognitif, untuk membedakan keterampilan berpikir
tingkat rendah, dan keterampilan berpikir kompleks. Sebagai contoh, ada
perbedaan besar antara mendapatkan contoh identik dari insekta tertentu dengan
menemukan perbedaan dari insekta yang sama. Tugas yang pertama melibatkan
proses dasar mengidentifikasi dan membandingkan. Sedangkan tugas satunya lagi
memerlukan tahap yang kompleks, canggih, berulang dan berurutan dari pemecahan
masalah.
B.
Rumusan Masalah
Dalam makalah yang kami bahas ini, kami akan mengajukan
beberapa rumusan masalah yang berkaitan dengan proses kognitif kompleks
diantaranya:
1.
Apakah itu konsep ?
2.
Apa itu berpikir dan berpikir kreatif ?
3.
Berpikir dengan menggunakan penalaran ?
4.
Bagaimana Pemikiran Kritis ?
5.
Proses Membuat Keputusan?
6.
Pemecahan masalah (Problem Solving)
7.
Apakah itu transfer ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pemahaman Konseptual dan Strategi Mengajarkan Konsep
Pemahaman konseptual
merupakan aspek penting dari pembelajaran. Tujuan penting pengajaran adalah
membantu siswa memahami konsep-konsep utama dalam subjek daripada hanya
menghafal fakta terisolasi. Dalam banyak kasus, pemahaman konseptual
ditingkatkan saat guru mengeksplorasi topik secara mendalam dan memberikan yang
tepat, adalah contoh menarik dari konsep.
1.
Apakah Konsep
Istilah konsep berasal
dari bahasa latin conceptum, yang
artinya suatu yang dipahami. Aristoteles dalam “the classical theory of
concept” menyatakan bahwa konsep merupakan penyususan utama dalam pembentukan
ilmiah dan filsafat pemikiran manusia. Konsep adalah poin penting pemikiran.
Konsep kelompok objek-objek, peristiwa, dan karakteristik berdasarkan properti
umum. Konsep membantu Anda untuk menyederhanakan, meringkas, dan mengatur
informasi (Quinn, 2009, 2011). Soedjadi (2000:14) konsep merupakan ide abstrak
yang dapat digunakan untuk mengadakan klasifikasi atau penggolongan yang pada
umumnya dinyatakan dengan suatu istilahatau rangkaian kata. Jika Anda tidak
punya konsep, maka Anda akan menemukan masalah yang sebenarnya sepele menjadi
sulit untuk dirumuskan dan bahkan tidak mungkin untuk dipecahkan. Tentu saja,
konsep membantu siswa untuk memahami dunia (Chi & Brem, 2009; Oakes dkk,
2010). Konsep juga membantu proses mengingat, sehingga lebih efisien (Racine,
2011). Saat siswa mengelompokkan objek-objek untuk membentuk konsep, mereka
dapat mengingat konsep, kemudian mengambi karakteristik konsep tersebut.
Konsep tidak hanya
membantu untuk menyinggung memori, tetapi juga membuat komunikasi yang lebih
efisien. Konsep membantu siswa untuk menyederhanakan dan meringkas informasi,
serta meningkatkan efisiensi memori, komunikasi, dan penggunaan waktu. Siswa
membentuk konsep melalui pengalaman langsung dengan benda-benda dan peristiwa
dalam dunia mereka. Siswa juga membentuk konsep melalui pengalaman dengan
simbol (hal-hal yang menyebabkan, atau mewakili, sesuatu yang lain). Beberapa
konsep ada yang relatif sederhana, jelas, dan nyata. Sedangkan yang lain lebih
kompleks, samar, dan abstrak.
2.
Mempromosikan
Pembentukan Konsep
Guru dapat membimbing
siswa untuk mengenali dan membentuk konsep efektif dalam beberapa cara. Proses
ini diawali dengan fitur penting dari konsep yang diberikan. Dalam mengajar
pembentukan konsep kepada anak-anak, akan sangat membantu untuk mendiskusikan
dengan fitur penting dari konsep, definisi dan contoh konsep (misalnya,
menggunakan strategi pengaturan), kategorisasi hierarki dan peta konsep,
pengujian hipotesis, dan pencocokan prototipe.
a.
Belajar Mengenai Fitur Konsep
Aspek penting dari
pembentukan konsep adalah belajar fitur penting, atribut, atau karakteristik
dari konsep (Madole, Oakes, & Rakison, 2010; Racine, 2011). Hal tersebut
mendefinisikan elemen konsep, dimensi yang membutuhkan beberapa dari konsep
lain..
b.
Mendefinisikan Konsep dan Memberikan Contoh
Aspek penting dari
konsep pengajaran adalah secara jelas mendefinisikan konsep dan memberikan
contoh yang dipilih secara cermat. Strategi aturan contoh adalah cara yang
efektif untuk melakukan hal ini
(Tennyson & Cocchiarella, 1986). Strategi ini terdiri atas empat
langkah, sebagai berikut:
1)
Tentukan konsep. Selain
mengidentifikasi fitur penting konsep atau karakteristik, hubungkan ke konsep atasan, yang merupakan kelas yang
lebih besar ke konsep yang sesuai.
2)
Jelaskan istilah dalam
definisi. Pastikan bahwa fitur atau karakteristik utama dipahami
dengan baik.
3)
Berikan contoh untuk
menggambarkan fitur atau karakteristik penting. Memberikan konsep
selain contoh yang telah disebutkan merupakan strategi yang baik untuk
mengajarkan pembentukan konsep. Lebih banyak contoh yang diperlukan saat Anda
mengajarkan konsep-konsep yang kompleks dan saat Anda bekerja dengan peserta
didik yang kurang memuaskan.
4)
Berikan contoh tambahan. Mintalah siswa untuk
mengkategorikan konsep, menjelaskan kategori mereka, atau meminta mereka
membuat contoh konsep sendiri.
c.
Kategorisasi Hierarki dan Peta Konsep
Pengategorian ini
penting karena konsep yang dikategorikan membuat karakteristik dan fitur dari
bagian kategori (Chi & Brem, 2009). Peta konsep adalah presentasi visual
dari koneksi konsep dan organisasi hierarki. Pengarahan pada siswa untuk
membuat peta fitur suatu konsep atau karakteristik, dapat membantu mereka untuk
mempelajari konsep (Amadieu dkk, 2009). Anda dapat membuat peta konsep dengan
bantuan siswa, atau membiarkan mereka memcoba mengembangkan secara individual
atau dalam kelompok kecil.
d.
Pengujian Hipotesis
Siswa dapat mengambil
manfaat dari praktik pengujian hipotesis
untuk menentukan yang termasuk konsep atau tidak. Hipotesis adalah asumsi tertentu dan prediksi yang dapat diuji
untuk menentukan akurasi konsep. Salah satu cara untuk mengembangkan hipotesis
adalah berdasarkan aturan tentang alasan mengapa beberapa benda disebut konsep
dan yang lainnya tidak. Bekerja sama dengan siswa Anda pada pengembangan
strategi yang paling efisien untuk mengidentifikasi konsep yang benar.
e.
Pencocokan Prototipe
Dalam pencocokan
prototipe, individu memutuskan apakah suatu hal adalah anggota kategori dengan
membandingkannya dengan hal yang paling khas dari kategori (Rosch, 1973).
Semakin mirip hal dengan prototipe, semakin besar kemungkinan orang akan
mengatakan hal tersebut bagian dari kategori yang kurang mirip, maka semakin
besar kemungkinan orang akan menilai bahwa hal tersebut tidak termasuk dalam
kategori tersebut.
B.
Beberapa Proses Berpikir Dan Aplikasinya Untuk Pemecahan Masalah
1. Proses Berpikir
a.
Apakah Berpikir
Berpikir adalah
manipulasi dan mengubah informasi dalam memori. Jenis pemikiran meliputi pembentukan konsep, penalaran,
berpikir kritis, pengambilan keputusan, berpikir kreatif, dan pemecahan
masalah.Berpikir adalah kegiatan mental dalam memecahkan masalah
(Gagne, 1980).Johnson (2002); Krulik and Rudnick (1996) mengemukakan berpikir
tingkat tinggi meliputi berpikir kreatif dan berpikir kritis. Berpikir kreatif
(yang menjadi bahasan pada bahasan ini) adalah aktivitas mental untuk
mengembangkan atau menemukan ide-ide asli (orisinil), estetis, konstruktif yang
berhubungan dengan pandangan konsep, dan menekankan pada aspek berpikir
intuitif dan rasional.
b.
Penalaran
Penalaran adalah
pemikiran logis yang menggunakan induksi dan deduksi untuk mencapai kesimpulan.
1)
Penalaran Induktif
Penalaran dari hal
spesifik ke umum adalah penalaran induktif. Penalaran tersebut terdiri atas
penarikan kesimpulan (membentuk konsep) mengenai semua anggota kategori
berdasarkan mengamati beberapa anggotanya (Goswani, 2011; Heit, 2008). Para
peneliti telah menemukan bahwa keterampilan penalaran induktif sering merupakan
prediksi yang baik dari prestasi akademik (Kinshuk & McNab, 2006). Penalaran induktif adalah penalaran dari
hal-hal spesifik ke hal-hal yang bersifat umum, yakni mengambil kesimpulan
(membentuk knsepp) tentang semua anggta kategori berdasarkan observasi dari
beberapa anggota (Markman & Gentner, 2001). Misalknya saat murid di kelas
sastra hanya membaca beberapa puisi Emily Dickinson, dan diminta menarik
kesimpulan tentang sifat umum dari puisinya, maka dia diminta menggunakan
penalaran induktif. Saat murid ditanya apakah konsep yang dipelajarai di kelas
matematika berlaku untuk bidang lain, seperti bisnis atau sains, sekali lagi,
dia harus menggunakan penalaran induktif. Riset psikologi pendidikan sering
kali juga dilakukan dengan penaran induktif, mempelajari beberapa sampel untuk
mengambil kesimpulan tentang populai dari sampel itu. Aspek penting dari
penalaran induktif adalah pengamatan yang berulang. Berdasarkan pengamatan
berulang, informasi tentang pengalaman yang sama terakumulasi ke titik bahwa
pola berulang dapat dideteksi dan kesimpulan lebih akurat didapatkan tentang
hal tersebut. Guru dapat membantu siswa untuk meningkatkan penalaran induktif
dengan mempertimbangkan bahwa kesimpulan yang dihasilkan tergantung pada
kualitas dan kuantitas dari informasi yang tersedia. Siswa sering
melebih-lebihkan kesimpulan sehingga lebih pasti dari bukti yang ada.
Mempertimbangkan aspek lain dari penalaran induktif, itu adalah dasar untuk analogi.
Analogi adalah korespondensi antara hal-hal lain yang berbeda. Analogi dapat
digunakan untuk meningkatkan pemahaman siswa tentang konsep-konsep baru dalam
membandingkan dengan konsep yang sudah dipelajari.Misalnya, kita buat analogi antara komputer dan
memori manusia. Salah satu tipe analogi menggunakan penalaran formil dan
mempunyai empat bagian, dimana hubungan antara dua bagian pertama adalah sama
atau sangant mirip dengan dua bagian terakhir. Misalnya, pecahkan analogi
berikut ini, Beethoven adalah untuk musik sebagaimana Picasso untuk. Untuk
menjawab dengan benar (seni), anda harus menemukan hubungan antara Beethoven
dan musik (yang pertama menciptakan yang kedua) dan mengaplikasikan hubungan
ini untuk Picasso (apa yang diciptakan Picasso?). Analogi dapat membantu memecahkan problem,
terutama jika dipersentasikan secara visual. Benjamin Franklin memberikan
bahwa objek yang lebih lancip menghasilkan percikan listrik yang lebih kuat
ketimbang objek yang tumpul saat keduanya diberi aliran listrik. Pada mulanya
dia percaya bahwa ini adalah observasi yang tidak penting, tetapi kemudian dia
menyadari bahwa sebuah objek yang analog tongkat lancipbisa dipakai untuk menarik petir (analogi
untuk percikan listrik), dan karenanya bisa mengalihkan petir dari bangunan dan
kapal.
Maka sala satu jenis
analogi merupakan penalaran formal dan memiliki empat bagian, dengan hubungan
antara dua bagian pertama, atau sangat mirip dengan, hubungan antara dua hal
yang terakhir.
2)
Penalaran Deduktif
Berbeda dengan penalaran
induktif, penalaran deduktif adalah penalaran dari umum ke khusus. Penalaran
deduktif selalu spesifik, yaitu jika aturan awal atau asumsi ini benar, maka
kesimpulannya akan benar (Ricco, 2011).Misalnya saatmemecahkan teka-teki, juga menggunakan penalaran deduktif.
Ketikamempelajari aturan umum dan kemudian memahami bagaimana aturan itu
berlaku dalam beberapa situasi tetapi tidak untuk situasi yang lain, maka anda
melakukan penalaran deduktif. Saat para psikolog pendidikan menggunakan teori
dan intuisi untuk membuat prediksi, kemudian mengevaluasi prediksi ini dengan
menggunakan observasi lanjutan, maka mreka sedang menggunakan penalaran
deduktif.Penalaran deduktif hampir selalu pasti dalam mengertian
bahwa jika aturan atau asumsi awalnya benar, maka konklusinya akan mengikuti
logika secara benar. Misalnya, jika kita semua tahu kaidah umum bahwa anjing
menggonggong dan kucing mengeong (dan jika kaidah ini selalu benar), anda bisa
mendeduksi dengan tepat apakah hewan piaraan tetangga anda yang tampak aneh
adalah anjing atau kucing berdasarkan suara yang dikeluarkan hewan itu.
Saat menggunakan teori dan instuisi untuk
membuat prediksi, kemudian mengevaluasi prediksi ini dengan membuat pengamatan
lebih lanjut, pendidik dan psikolog menggunakan penalaran deduktif. Banyak
aspek penalaran deduktif yang telah dipelajari, termasuk kesempatan saat
pengetahuan dan penalaran yang betentangan. Selama masa remaja, individu
semakin mampu menalar deduktif bahkan saat alasan yang dipertimbangkan adalah
palsu (Kuhn, 2009). Dari awal masa remaja sampai awal dewasa, individu
meningkatkan kemampuannya untuk membuat kesimpulan akurat jika pengetahuan dan
penalaran bertentangan. Artinya mereka bisa “menalar secara independen dari
status kebenaran premis” (Kuhn & Franklin, 2006).
c.
Berpikir Kritis
Berpikir kritis adalah
berpikir reflektif dan produktif, dan mengevaluasi bukti. Kesadaran adalah
suatu konsep yang mencerminkan pemikiran kritis. Menurut Ellen Langer (1997,
2005), kesadaran penting untuk berpikir kritis. Kesadaran berarti menjadi
waspada, hadir secara metal, dan kognitif fleksibel saat melalui kegiatan dan
tugas hidup sehari-hari. Siswa yang sadar akan mempertahankan kesadaran aktif
pada keadaan hidup mereka.
Siswa dengan kesadaran
ialah siswa yang menciptakan ide-ide baru terbuka terhadap informasi baru, dan
sadar lebih dari satu perspektif. Sebaliknya, siswa yang ceroboh akan
terperangkap dalam ide-ide lama, terlibat dalam perilaku otomatis, dan
beroperasi dari perspektif tunggal. Siswa yang ceroboh juga akan menerima hal
yang pernah dibaca atau didengar tanpa mempertanyakan keakuratan informasi.
Selain itu, siswa yang ceroboh akan terjebak dalm pola pikir yang kaku, tidak
memperhitungkan kemungkinan variasi dalam konteks dan perspektif. Langer
menekankan bahwa mengajukan pertanyaan yang baik adalah unsur penting dari
pemikiran secara sadar. Ia juga menekankan bahwa penting untuk fokus dalam
proses belajar daripada hasil. Dari sintesis yang telah dibahasmaka berpikir kritis bukan berarti menjadi kritis
atau menjadi negatif. Berpikir kritis lebih tepat diartikan sebagai berpikir
evaluatif. Hasil eva-luasi dapat berentang mulai dari positif menuju negatif,
penerimaan me-nuju penolakan, atau apapun diantaranya. Menurut Ennis &
Beyer berpi-kir kritis dapat didefinisikan sebagai memutuskan apa yang harus
diyakini atau dilakukan secara masuk akal dan reflektif. Jadi berpikir kritis
artinya membuat pertimbangan yang masuk akal. Berikut adalah
contoh-contoh tentang berfikir kritis
a.
Berpikir Kritis di Sekolah
Berikut adalah beberapa cara guru agar membentuk
pemikiran kritis dalam rencana pelajaran secara sadar:
a)
Menanyakan tidak hanya apa yang terjadi, tetapi
juga “bagaimana” dan “mengapa”.
b)
Periksalah yang seharusnya “fakta” untuk menentukan
apakah ada bukti untuk mendukung mereka.
c)
Berdebat dengan cara yang masuk akal daripada
melalui emosi.
d)
Mengakui bahwa terkadang terdapat lebih dari satu
jawaban atau penjelasan yang baik.
e)
Bandingkan berbagai jawaban atas pertanyaan dan
putuskan jawaban yang benar-benar terbaik.
f)
Mengevaluasi dan mungkin mempertanyakan apa yang
orang lain katakan daripada segera menerimanya sebagai kebenaran.
g)
Ajukan pertanyaan dan berspekulasi melalui apa yang
sudah Anda ketahui untuk menciptakan ide-ide dan informasi baru.
Salah satu cara untuk
mendorong siswa agar berpikir kritis adalah menyajikan topik kontroversial atau
artikel yang berkaitan tentang kedua sisi dari suatu isu untuk dibahas.
Berpikir kritis dipromosikan saat siswa menghadapi adu argumen dan perdebatan
karena dapat memotivasi mereka untuk menggali topik lebih dalam dan berusaha
untuk memecahkan masalah (Kuhn, 2009). Dalam situasi ini, siswa sering kali
diuntungkan saat guru menahan diri atas pernyataan tentang pandangan sendiri,
sehingga memungkinkan siswa lebih leluasa mengeksplorasi sisi yang berbeda dari
isu dan berbagai perspektif pada topik. Berdasarkan banyak tugas yang
mengharuskan siswa untuk fokus pada isu, pertanyaan, atau masalah bukan hanya
membaca fakta-fakta, guru merangsang kemampuan siswa untuk berpikir kritis.
b.
Berpikir Kritis pada Masa Remaja
Masa remaja merupakan
masa transisi yang penting dalam perkembangan berpikir kritis (Kuhn, 2009).
Beberapa perubahan kognitif terjadi selama masas remaja yang memungkinkan
peningkatan berpikir kritis, termasuk sebagai berikut (Keating, 1990):
a)
Peningkatan kecepatan, otomatisasi, dan kapasitas
pengolahan informasi, yang membebaskan sumber daya kognitif untuk tujuan lain.
b)
Pengetahuan lainnya dalam berbagai domain.
c)
Kemampuan meningkat untuk membentuk kombinasi
kemampuan baru.
d)
Rentang yang lebih besar dan penggunaan strategi
atau prosedur lebih spontan seperti perencanaan, mempertimbangkan alternatif,
dan pemantauan kognitif.
Jika dasar yang kuat
dari keterampilan dasar (seperti membaca dan keterampilan matematika) tidak
dikembangkan sejak masa kanak-kanak, keterampilan berpikir kritis tidka mungkin berkembang pada masa remaja.
Bagi remaja yang tidak memiliki keterampilan dasar, potensi keuntungan dalam
pemikiran remaja adalah tidak mungkin.
c.
Berpikir Kritis dan Teknologi
David Jonassen (2006,
2010) berpendapat bahwa salah satu penggunaan terbaik dari teknologi dalam
pendidikan, melibatkan aplikasi komputer agar siswa berpikir kritis mengenai
isi bacaan yang dipelajari. Ia menyebutkan bahwa aplikasi seperti “alat
pikiran”, dan melihatnya sebagai alat konstruktif yang disimpulkan oleh siswa
terkait pengetahuan dan penalaran tentang isi pelajaran. Jonassen membedakan
beberapa kategori alat pikiran, termasuk alat-alat semantik organisasi, alat
pemodelan dinamis, alat interpretasi informasi, serta percakapan dan alat-alat
kolaborasi.
Alat organisasi semantik
seperti pusat data dan alat pemetaan konsep, membantu siswa mengatur,
menganalisis, dan memvisualisasikan informasi yang dipelajari. Alat pemodelan
dinamis membantu siswa mengeksplorasi hubungan antara konsep-konsep. Hal
tersebut termasuk spreadsheet, sistem pakar, sistem alat pemodelan, dan microworlds. Alat interpretasi informasi
membantu pelajar mengakses dan menginterpretasikan informasi, termasuk
visualisasi dan alat-alat konstruksi pengetahuan. Misalnya, alat visualisasi
adalah model visual dari fenomena yang kompleks agar lebih dipahami. Alat
Pengetahuan konstruksi, seperti hypermedia,
video pengeditan, atau program desain jaringan, konstruksi sistem siswa pada
pengetahuan dalam berbagai bentuk.
Berbagai alat-alat
percakapan digital dan kolaborasi, seperti e-mail,
diskusi online, chatting, konferensi video, dan blog, memungkinkan siswa untuj
berinteraksi dan berkolaborasi dengan para ahli dan siswa lain di seluruh
dunia.
d.
Pengambilan Keputusan
Dalam penalaran deduktif, orang menggunakan
kaidah yang jelas
untuk mengambil kesimpulan. Sebaliknya saat kita membuat keputusan, kaidahnya
jarang yang jelas dan kita mungkin hanya punya pengetahuan terbatas tentang
konsekuensi dari keputusan itu (Gigenrenzer & Selton, 2001; Tversky &
Fox, 1995). Selain itu, informasi penting mungkin tidak tersedia dan kita
mungkin tidak bisa mempercayai semua informasi yang kita punya (Martlin, 2002).Luthans dan Davis (1996) mengemukakan bahwa, decision
making is almost universally defined as choosing between alternatives.
Artinya, bahwa secara umum pengertian dari pengambilan keputusan adalah
me-milih di antara berbagai alternatif. Pengertian ini diperkuat oleh Garry
Deslerr (2001) yang mengatakan bahwa, decision
is a choice made bet-ween available alternatives. Ditinjau dari sudut
pandang lain dinyatakan pula bahwa, decision
making is the process of developing and analyzing alternatives and choosing
from among them.Pengambilan keputusan adalah berpikir yang melibatkan
evaluasi alternatif dan membuat pilihan. Salah satu jenis pengambilan keputusan
adalah menimbang biaya dan manfaat dari berbagai hasil. Banyak prasangka
(prasangka konfirmasi, kepercayaan ketekunan, prasangka terlalu percaya, dan
prasangka pandangan masa lalu) dapat mengganggu pengambilan keputusan yang
baik.
a.
Bias dan Kelemahan dalam Pengambilan Keputusan
Subyek berakibat lain
dari penelitian pengambilan keputusan adalah bias dan cacat heuristis (aturan
praktis) yang mempengaruhi kualitas keputusan (Baker, 2010; Pretz, 2008).
Kelemahan umum melibatkan bias konfirmasi, ketekunan kepercayaan, bias terlalu
percaya diri, bias masa lalu, dan ketersediaan dan perwakilan heuristis.
Pengambilan keputusan ditingkatkan saat Anda menyadari ini merupakan kekurangan
potensial.
b.
Bias Konfirmasi
Salah satu jenis
prasangka adalah bias konfirmasi, cenderung mencari dan menggunakan informasi
yang mendukung ide-ide Anda bukan membantahnya. Dengan demikian, dalam membuat
keputusan, seorang siswa mungkin memiliki keyakinan awal bahwa pendekatan
tertentu dalam bekerja. Ia menguji pendekatan dan menemukan bahwa itu tidak
bekerja pada beberapa waktu. Ia menyimpulkan bahwa pendekatannya tepat,
daripada mengeksplorasi fakta lebih lanjut bahwa dalam sejumlah kasus tidak
bekerja. Anda cenderung mencari dan mendengarkan orang-orang dengan pandangan
mengonfirmasi pendapat anda daripada mendengarkan pandangan yang berbeda
pendapat (Kerschreiter dkk, 2008).
c.
Ketekunan Kepercayaan
Terkait erat dengan
prasangka konfirmasi, ketekunan kepercayaan adalah kecenderungan untuk berpegang
pada keyakinan dalam menghadapi bukti yang bertentangan. Orang-orang memiliki
kesulitan dalam melepaskan ide atau strategi setelah meyakininya (Stanovich,
2010).
d.
Bias Terlalu Percaya Diri
Bias terlalu percaya
diri adalah kecenderungan dalam memiliki kepercayaan diri yang berlebihan dalam
penilaian dan keputusan daripada yang seharusnya, berdasarkan probabilitas dan
pengalaman masa lalu.
e.
Bias Masa Lalu
Bias masa lalu adalah
kecenderungan untuk melaporkan secara
salah, setelah fakta, bahwa Anda secara akurat memprediksi kejadian.
f.
Pengambilan Keputusan di Masa Remaja
Masa remaja adalah masa
peningkatan pengambilan keputusan. Remaja yang lebih tua sering membuat
keputusan yang lebih baik daripada remaja yang lebih muda, yang lebih baik saat
ini daripada anak-anak. Kebanyakan orang membuat keputusan yang lebih baik saat
mereka tenang daripada dalam keadaan emosional, terutama pada remaja (Steinberg
dkk, 2009). Konteks sosial juga berperan penting dalam pengambilan keputusan
remaja (Wray-Lake, Crouter, & McHale, 2010).
e.
Berpikir Kreatif
Aspek penting dari
pemikiran adalah berpikir kreatif (Baghetto & Kaufman, 2010; Sternberg,
2009, 2010a, b). Kreativitas adalah kemampuan untuk berpikir tentang cara baru,
dan tidak biasa, dan datang dengan solusi yang unik. JP Guilford (1967)
membedakan antara berpikir konvergen (yang menghasilkan satu jawaban yang benar
dan karakteristik dari jenis pemikiran yang diperlukan pada ujian kecerdasan
konvensional) dan berpikir divergen (yang menghasilkan banyak jawaban untuk pertanyaan
yang sama dan karakteristik kreativitas). Meskipun siswa paling kreatif adalah
cukup cerdas, tetapi sebaliknya belum tentu benar.
1)
Langkah-Langkah dalam Proses Kreatif
Proses kreatif sering digambarkan sebagai urutan
lima langkah, meskipun siswa tidak selalu mengikuti urutan yang sama:
a)
Persiapan. Siswa tenggelam dalam isu masalah yang
membuat mereka tertarik dan rasa ingin tahu mereka muncul.
b)
Inkubasi. Siswa mengelola ide di kepala mereka,
titik di mana mereka cenderung membuat beberapa koneksi yang tidak biasa dalm
pemikiran mereka.
c)
Wawasan. Siswa mengalami momen “Aha!” saat semua
potongan teka-teki terlihat cocok satu sama lain.
d)
Evaluasi. Sekarang, siswa harus memutuskan tentang
suatu ide yang berharga dan layak dikejar. Mereka harus berpikir. “Apakah ide
baru atau sudah jelas?”
e)
Elaborasi. Langkah terakhir sering meliputi rentang
waktu terpanjang dan melibatkan pekerjaan paling sulit. Langkah ini adalah yang
dipikirkan oleh penemu asal Amerika, Thomas Edison, saat ia mengatakan bahwa
kreativitas adalah 1 persen inspirasi dan 99 persen keringat.
2)
Pengajaran dan Kreativitas
Tujuan penting
pengajaran adalah membantu siswa menjadi lebih kreatif (Kaufman &
Sternberg, 2010; Sternberg, 2009, 2010a, b, c). Guru perlu menyadari bahwa
siswa akan lebih menunjukkan kreativitas dalam beberapa domain daripada yang
lain (Skiba dkk, 2010). Seorang siswa yang menunjukkan keterampilan kreatif
misalnya, berpikir secara matematis mungkin tidak ditunjukkan pada keterampilan
kesenian. Desain sekolah dan ruang kelas dapat mempengaruhi kreativitas siswa
(Baghetto & Kaufman, 2009). Lingkungan sekolah yang mendorong bekerja
secara independen, yang merangsang tetapi tidak mengganggu, dan membuat sumber
daya tersedia cenderung mendorong kreativitas siswa. Siswa juga akan sangat beruntung
jika Anda adalah seorang pemikir kratif dan terlibat dalam proses pengajaran
sehari-sehari Anda secara kreatif.
Berikut adalah beberapa
cara guru dapat menumbuhkan kreativitas dalam diri siswa: mendorong pemikiran
kreatif pada kelompok dan secara individual, menyediakan lingkungan yang
menyediakan kreativitas, jangan terlalu mengontrol siswa, mendorong motivasi
internal, mendorong agar berpikir fleksibel, membentuk kepercayaan diri siswa,
mendorong siswa untuk berani mengambil resiko, membimbing siswa agar gigih dan
menunda gratifikasi, san memperkenalkan siswa pada orang-orang kreatif.
2.
Pemecahan Masalah
Pemecahan masalah adalah
menemukan cara yang tepat untuk mencapai tujuan. Pertimbangkan tugas yang
mengharuskan siswa untuk terlibat dalam pemecahan masalah.Memecahkan masalah melibatkan aktivitas
seperti menggunakan proses berpikir dasar untuk memecahkan kesulitan tertentu,
merakit fakta tentang informasi tambahan yang diperlukan, memprediksi atau
menyarankan alternatif solusi dan menguji ketepatannya, mereduksi ke tingkat
penjelasan yang lebih sederhana, mengeliminasi kesenjangan, memberi uji solusi
ke arah nilai yang dapat digeneralisasi.
a.
Langkah-Langkah Dalam Pemecahan Masalah
Upaya telah dilakukan
untuk menentukan langkah-langkah yang dilalui oleh individu secara efektif
dalam memecahkan masalah. Berikut adalah empat langkah tersebut (Bransford
& Stein, 1993):
a.
Carilah dan Bingkai Masalah
Sebelum memecahkan
masalah, Anda harus menyadari bahwa masalah tersebut ada (Mayaer, 2008). Di
masa lalu sebagian besar latihan pemecahan masalah di sekolah adalah masalah
yang didefinisikan dengan baik oleh mereka sendiri secara spesifik dan
sistematis yang menghasilkan solusi yang jelas. Saat ini, Pendidik semakin
menyadari kebutuhan untuk mengajar keterampilan dunia nyata kepada siswa untuk
mengidentifikasi masalah, bukan hanya menawarkan masalah yang jelas untuk
dipecahkan (Chen, 2010; Laxman, 2010). Diperlukan eksplorasi yang cukup dan
perbaikan bagi siswa untuk mempersempit masalah ke titik yang menghasilkan
solusi spesifik. Penjelajahan alternatif tersebut merupakan bagian penting dari
pemecahan masalah.
b.
Mengembangkan Strategi Pemecahan Masalah yang Baik
Setelah menemukan
masalah dan secara jelas mendefinisikannya, siswa perlu mengembangkan strategi
untuk menyelesaikannya (Quiamzade, Mugny, & Darnon, 2009; Yu, Dia, &
Lee, 2010). Dia antara strategi yang efektif, terdapat pengaturan sub tujuan
dan penggunaan algoritma, heuristis, serta analis rata-rata akhir.
1)
Sub-tujuan adalah menetapkan tujuan menengah yang
menempatkan siswa dalam posisi yang lenih baik untuk mencapai tujuan akhir atau
solusi. Siswa mungkin melakukan hal buruk dalam memecahkan masalah karena
mereka tidak menghasilkan sub-masalah atau sub-tujuan. Perhatikan bahwa dalam
membentuk sub-tujuan, Anda bekerja mundur dalam waktu. Hal ini sering kali
merupakan strategi yang baik. Siswa terlebih dahulu membuat sub-tujuan paling
dekat dengan tujuan akhir, dan kemudian bekerja mundur ke sub-tujuan paling
dekat dengan awal upaya pemecahan masalah.
2) Algoritma adalah
strategi yang menjamin solusi masalah. Algoritma ada dalam berbagai bentuk,
seperti formula, instruksi, dan ujian yang menjadi kemungkinan solusi. Saat
siswa memecahkan masalah perkalian atau pembagian panjang dengan prosedur yang
ditetapkan, mereka menggunakan algoritma (Martin, 2009). Saat mengikuti
petunjuk untuk diagram kalimat, mereka menggunakan algoritma. Algoritma
membantu dalam memecahkan masalah yang jelas (Lau & Yuen, 2010).
3)
Heuristis adalah strategi atau aturan baku yang
dapat menyarankan solusi masalah, tetapi tidak menjamin akan bekerja. Heuristis
membantu Anda untuk mempersempit kemungkinan solusi dan membantu Anda dalam
menemukan satu yang bekerja (Acar, Turkmen, & Roychoudhury, 2010). Dalam
menghadapi ujian pilihan ganda, beberapa heuristis dapat berguna. Misalnya,
jika Anda tidak yakin tentang jawaban, Anda bisa mulai dengan mencoba untuk
menghilangkan jawaban yang terlihat paling tidak mungkin, dan kemudian menebak
antara yang tersisa. Selain itu, untuk petunjuk tentang jawaban atas satu
pertanyaan, Anda dapat memeriksa pernyataan atau menjawab pilihan untuk
pertanyaan lain pada ujian.
4)
Analisis rata-rata akhir adalah heuristis yang
mengidentifikasi tujuan (akhir) dari masalah, menilai situasi saat ini, dan
mengevaluasi yang perlu dilakukan (sarana) untuk mengurangi perbedaan antara
dua kondisi. Nama lain dari analisis rata-rata akhir adalah pengurangan
perbedaan. Analisis rata-rata akhir juga dapat melibatkan penggunaan
sub-tujuan. Analisis rata-rata akhir umumnya digunakan dalam memecahkan
masalah.
c.
Evaluasi Solusi
Setelah berpikir bahwa
Anda telah memecahkan masalah, Anda mungkin tidak tahu mengenai keefektifan
solusi, kecuali Anda mengevaluasinya. Hal tersebut menyebabkan sesuatu untuk
memiliki pikiran kriteria yang jelas dalam efektivitas solusi.
d.
Pemikiran dan Definisi Masalah dan Solusi dari
Waktu ke Waktu
Langkah terakhir penting
dalam pemecahan masalah adalah untuk terus memikirkan kembali dan
mendefinisikan masalah dan solusi dari waktu ke waktu (Bereiter &
Scardamalia, 2006). Orang yang pandai memecahkan masalah, termotivasi untuk
mempebaiki kinerja masa lalu dan membuat kontribusi yang asli.
b. Hambatan
Untuk Memecahkan Masalah
Beberapa kendala umum
dalam memecahkan masalah adalah fiksasi, kurangnya motivasi atau ketekunan, dan
pengendalian emosi yang tidak memadai.
a.
Fiksasi
Sangat mudah untuk jatuh
ke perangkap dan terpaku pada strategi tertentu untuk memecahkan masalah.
Fiksasi adalah menggunakan strategi sebelumnya dan gagal untuk melihat masalah
dari perspektif baru yang segar. Fiksasi fungsional
adalah jenis fiksasi saat seorang individu gagal untuk memecahkan masalah
karena memandang unsur-unsur yang terlibat hanya dalam hal fungsi biasa saja.
Seorang siswa yang menggunakan sepatu untuk memalu paku telah mengatasi fiksasi
fungsional untuk memecahkan masalah.
Set mental adalah jenis
fiksasi saat seorang individu mencoba untuk memecahkan masalah dengan cara
tertentu yang telah bekerja di masa lalu. Misalnya, saat Anda memiliki seperangkat jiwa mengenai penggunaan
mesin tik ketimbang komputer untuk menulis buku. Anda merasa nyaman dengan
mesin tik dan tidak pernah melewatkan setiap bagian yang anda tulis. Butuh
waktu lama bagi Anda untuk keluar dari set mental ini. Setelah melakukannya,
Anda menemukan bahwa buku lebih mudah ditulis dengan komputer. Anda mungkin
memiliki satu set mental yang sama terhadap penggunaan komputer dan video
teknologi baru yang tersedia untuk penggunaan di kelas. Strategi yang baik
adalah tetap berpikiran terbuka mengenai perubahan tersebut dan memantau apakah
set mental Anda adalah menjaga dalam mencoba teknologi baru yang dapat membuat
kelas lebih menarik dan lebih produktif.
b.
Kurangnya Motivasi atau Ketekunan
Bahkan, jika siswa telah
memiliki kemampuan besar pemecahan masalah, hampir tidak penting jika mereka
tidak termotivasi untuk menggunakannya (Perry, Turner, & Meyer, 2006). Hal
ini terutama penting bagi siswa secara internal termotivasi untuk mengatasi
masalah dan bertahan dalam menemukan solusi. Beberapa siswa menghindari masalah
dan menyerah terlalu mudah.
Tugas penting bagi guru
adalah menyusun atau mengarahkan siswa menuju masalah yang berarti bagi mereka,
kemudian mendorong dan mendukung mereka dalam mencari solusi. Siswa jauh lebih
termotivasi untuk memecahkan masalah yang dapat berhubungan dengan kehidupan
pribadi mereka daripada masalah buku yang tidak memiliki makna pribadi bagi
mereka. Pembelajaran berbasis masalah membawa pendekatan personel ke dunia
nyata (Baturay & Bay, 2010; Kumar, 2010).
c.
Pengendalian Emosional yang Tidak Memadai
Emosi dapat menghambat
pemecahan masalah. Pemecahan masalah yang baik tidak hanya motivasi tinggi,
tetapi juga mampu mengendalikan emosi mereka, dan dengan demikian
berkonsentrasi pada solusi masalah (Kuhn, 2009). Kecemasan atau takut dapat
membatasi kemampuan siswa untuk memecahkan masalah. Individu yang kompeten di
pemecahan masalah biasanya tidak takut membuat kesalahan.
c. Perubahan
Perkembangan
Anak-anak memiliki
beberapa kelemahan yang mencegah mereka dalam memecahkan banyak masalah secara
efektif. Hal yang utama adalah kurangnya perencanaan, yang meningkat selama
bertahun-tahun pada sekolah dasar dan menengah. Di antara alasan untuk
keterampilan perencanaan yang buruk dari anak-anak adalah cenderung mencoba
untuk memecahkan masalah terlalu cepat dengan mengorbankan akurasi dan ketidakmampuan
mereka untuk menghambat aktivitas. Perencanaan sering dibutuhkan dalam
menghambat perilaku saat ini untuk berhenti dan berpikir, anak-anak pra sekolah
sering mengalami kesulitan dalam menghambat perilaku yang sedang berlangsung,
terutama jika menyenangkan (Bjorklund, 2005). Kelemahan lain dari kemampuan
pemecahan masalah anak-anak adalah meskipun mereka mungkin tahu aturan, mereka
gagal untuk menggunakannya.
Alasan lain bahwa
anak-anak dan remaja menjadi pemecah masalah yang lebih baik daripada anak-anak
yang lebih muda adalah pengetahuan dan strategi (Bjorklund, 2011; Martinez,
2010). Permasalahan yang harus dipecahkan oleh anak-anak dan remaja, sering
lebih kompleks daripada yang dihadapi oleh anak-anak yang lebih muda, dan
memecahkan masalah secara akurat ini biasanya membutuhkan akumulasi
pengetahuan. Semakin banyak anak tahu mengenai topik tertentu, semakin baik
mereka akan dapat memecahkan masalah yang berkaitan dengan topik. Penggunaan
strategi anak-anak meningkat saat usia mereka bertambah. Terutama yang penting
dalam menggunakan strategi untuk memecahkan masalah, adalah dengan memiliki
berbagai strategi untuk dipilih, dan kisaran ini meningkat selama tahun-tahun
sekolah dasar dan menengah. Remaja memiliki peningkatan kapasitas untuk
memonitor dan mengelola sumber daya mereka agar secara efektif memenuh tuntutan
tugas pemecahan masalah (Kuhn, 2009). Remaja juga lebih baik daripada anak-anak
dalam menyaring informasi yang tidak relevan untuk memecahkan masalah (Kuhn,
2009).
d. Pembelajaran
Berbasis Masalah Dan Pembelajaran Berbasis Proyek
a.
Pembelajaran
Berbasis Masalah
Penekanan dalam
pembelajaran berbasis masalah adalah pada pemecahan masalah autentik seperti
yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari (Donnelly, 2010; Hung, 2009). Ada
siswa yang memecahkan masalah berkaitan dengan membayangkan, merencanakan,
menerapkan pameran, merancang video, dan membuat program. Tidak seperti
instruksi langsung saat guru menyajikan gagasan serta menunjukkan keterampilan,
dalam pembelajaran berbasis masalah, guru mengorientasikan siswa untuk masalah
atau masalah dan mendapatkan siswa untuk mengeksplorasi dan menemukan solusi
sendiri (Aends, 2004). Pembelajaran berbasis masalah sangat efektif untuk
membantu siswa dalam mengembangkan kepercayaan diri dan menghasilkan kemampuan
berpikir sendiri.
Aliran umum pembelajaran
berbasis masalah terdiri atas lima tahap (Arends, 2004):
1)
Megorientasikan siswa untuk masalah ini.
2)
Mengatur siswa untuk belajar.
3)
Membuat penyelidikan independen dan kelompok.
4)
Mengembangkan dan menyajikan artefak dan pameran.
5)
Menganalisis dan mengevaluasi kerja.
b.
Pembelajaran Berbasis Proyek
Dalam pembelajaran
berbasis proyek, siswa bekerja secara nyata, masalah yang berarti dan
menciptakan produk nyata (Gutherie, 2010; van Rooij, 2009). Pembelajaran berbasis
proyek dan pembelajaran berbasis masalah, terkadang diperlakukan sebagai
sinonim. Tetapi, seentara masih menekankan proses belajar secara konstruktivis,
pembelajaran berbasis proyek memberikan ekstra perhatian terhadap produk akhir
dari pembelajaran berbasis masalah (Bereiter & Scardamalia, 2006).
Jenis-jenis masalah dieksplorasi dalam pembelajaran berbasis proyek adalah sama
dengan yang dipelajari oleh para ilmuwan, matematikawan, sejarawan, penulis,
dan profesional lainnya (Bell, 2010; Kanter, 2010).
Lingkungan belajar
berbasis proyek yang ditandai dengan lima fitur utama (Krajcik &
Blumenfeld, 2006):
1.
Pertanyaan yang
mengarahkan. Proses pembelajaran dimulai dengan suatu pertanyaan
penting atau masalah yang perlu diselesaikan.
2.
Autentik, letak penyelidikan. Saat meneliti
pertanyaan penting siswa belajar tenetang proses pemecahan masalah oleh para
ahli terhadap kedisiplinan dalam konteks yang relevan.
3.
Kolaborasi. Siswa, guru, dan
peserta masyarakat bekerja sama untuk mencari solusi masalah ini.
4.
Suatu sistem. Teknologi pembelajaran
digunakan untuk menantang siswa dalam melampaui yang biasanaya pada konteks
pemecahan masalah.
5.
Produk akhir. Siswa membuat produk
akhir secara nyata yang membahas kunci dan mengarahkan pertanyaan.
Tujuan penting kognitif
kompleks bagi siswa untuk menerapkan yang dipelajari dalam satu situasi ke
situasi baru (Banich & Caccamise, 2010; Stahl, 2010). Tujuan penting dari
sekolah adalah siswa belajar hal-hal yang dapat diterapkan di luar kelas.
Sekolah tidak berfungsi secara efektif jika siswa melakukannya dengan baik pada
ujian di seni bahasa, tetapi tidak dapat menulis surat yang kompeten sebagai
bagian dari aplikasi pekerjaan. Sekolah juga tidak efektif mendidik siswa jika
siswa melakukannya dengan baik pada ujian matematika di kelas, tetapi tidak
dapat memecahkan masalah aritmatika pada pekerjaan.
C.
Cara Mentransfer dan
Memperkuat Proses Berpikir Kompleks Untuk Pemecahan Masalah
1.
Apakah Transfer
Transfer terjadi jika
seseorang menerapkan pengalaman dan pengetahuan sebelumnya untuk belajar atau
memecahkan masalah dalam situasi baru (Mayer, 2008). Siswa mengambil manfaat
saat dapat menerapkan yang dipelajari di kelas untuk situasi kehidupan mereka di
luar kelas. Jadi, jika seorang siswa belajar konsep dalam matematika, kemudian
menggunakan konsep ini untuk memecahkan masalah dalam ilmu pengetahuan, maka
transfer telah terjadi. Hal ini juga terjadi jika seorang siswa membaca dan
studi tentang konsep keadilan di sekolah, kemudian memperlakukan orang lain
lebih adil di luar kelas.
Beberapa strategi yang
dapat meningkatkan transfer termasuk memberikan dua atau lebih konsep karena
satu sering tidak cukup, memberikan representasi atau model kepada siswa, seperti
matriks, yang membantu mereka untuk menyusun kegiatan pemecahan masalah, dan
mendorong siswa untuk menghasilkan lebih banyak informasi sendiri serta
meningkatkan ingatan yang perlu ditransfer (Sears, 2008). Strategi lain untuk
meningkatkan transfer adalah memberikan kasus kontras yang terstruktur dengan
baik kepada siswa, dan mereka mencoba untuk menemukan solusinya sebelum kuliah
tentang solusi ahli. Idenya adalah dengan terlebih dahulu menciptakan solusi,
siswa membawa pengetahuan sebelumnya untuk memecahkan masalah dan membuat
koneksi ke fitur masalah. Saat mereka melihat solusi ahli dan kaitan fitur
penting satu sama lain, para siswa harus lebih memahami cara kerjanya, dan
dengan demikian, mentransfer lebih baik di masa depan.
2.
Jenis Transfer
Transfer dapat dicirikan
sebagai (1) dekat atau jauh, dan (2) jalan rendah atau jalan tinggi (Schunk,
2011).
a.
Transfer Dekat atau Jauh
Dalam transfer dekat,
situasi pembelajaran di kelas mirip saat pembelajaran awal berlangsung. Sevagai
contoh, jika seorang guru geometri menginstruksikan kepada siswa dengan cara
logis untuk membuktikan konsep, kemudian menguji siswa pada logika ini dalam
pengaturan yang sama saat mereka belajar konsep, transfer dekat terlibat.
Transfer jauh berarti
transfer belajar situasi yang sangat berbeda dari yang saat pembelajaran awal
berlangsung. Misalnya, jika seorang siswa mendapat pekerjaan paruh waktu di
suatu kantor arsitek dan menerapkan yang dipelajarinya di kelas geometri untuk
membantu arsitek dalam menganalisis masalah spasial yang berbeda dari masalah
yang dihadapi di kelas geometri, transfer jauh telah terjadi.
b.
Transfer Jalan Rendah atau Jalan Tinggi
Gabriel salomon dan
david Parkins (1989) membedakan antara pengalihan jalan-rendah dan
jalan-tinggi. Transfer jalan-rendah terjadi saat pembelajaran sebelumnya secara
otomatis, sering secara tidak sadar, transfer ke situasi laian. Hal ini terjadi
biasanya dengan keterampilan yang dipraktikkan saat ada sedikit kebutuhan untuk
berpikir reflektif. Misalnya, saat pembaca yang kompeten menemukan kalimat baru
dalam bahasa ibu mereka, mereka membacanya otomatis.
Sebaliknya, transfer
jalan-tinggi sadar dan berusaha. Siswa sadar untuk membentuk hubungan antara
yang dipelajarinya dalam situasi sebelumnya dan situasi baru dihadapi. Transfer
jalan-tinggi penuh kesadaran, yaitu siswa menyadari yang dilakukannya dan
berpikir tentang hubungan anatara konteks. Transfer jalan-tinggi menyiratkan
keabstrakan aturan umum atau prinsip dari pengalaman sebelumnya, kemudian
menerapkannya pada masalah baru dalam konteks bau. Sebagai contoh, siswa bisa
belajar tentang konsep sub-tujuan (menetapkan tujuan menengah) di kelas
matematika. Beberapa bulan kemudian, salah satu siswa berpikir tentang
sub-tujuan yang bisa membantunya dalam menyelesaikan pekerjaan rumah yang
panjang dalam sejarah. Ini adalah transfer jalan-tinggi.
Salomon dan Parkins
(1989) membagi transfer jalan-tinggi ke transfer jangkauan ke depan dan
transfer jangkauan ke masa lalu. Transfer jangkauan ke depan terjadi saat siswa
berpikir tentang cara mereka menerapkan yang telah dipelajari dengan situasi
baru (dari situasi mereka saat ini, mereka melihat “maju” untuk menerapkan
informasi ke situasi baru di depan). Untuk transfer jangkauan ke depan
berlangsung siswa harus tahu sesuatu tentang situasi transfer pembelajaran.
Sedangkan transfer jangkauan ke belakang terjadi saat siswa melihat kembali ke
situasi sebelumnya (”lama”) untuk informasi yang akan memecahkan masalah dalam
konteks baru.
3.
Praktik Budaya Dan
Transfer
Praktik-praktik budaya
dapat mempengaruhi cara transfer menjadi mudah atau sulit. Pengetahuan
sebelumnya, meliputi berbagai jenis pengetahuan yang diperoleh peserta didik
melalui pengalaman budaya, seperti melibatkan etnis, status sosial-ekonomi, dan
gender (Dewan Riset Nasional, 1999). Pada beberapa kasus, pengetahuan budaya
ini dapat mendukung pembelajaran anak-anak dan memfasilitasi pemindahan, tetapi
juga dapat mengganggu (Cole, 2006; Greenfield dkk, 2006). Untuk anak-anak dari
beberapa latar belakang budaya, terdapat kecocokan atau transfer minimal antara
yang dipelajari di komunitas asal dan yang dibutuhkan atau diajarkan oleh
sekolah.
Salah satu model untuk
strategi mengajar yang akan menggeneralisasi terdiri atas tiga tahap untuk
meningkatkan pemindahan (Phye & Sanders, 1994). Pada tahap awal akuisisi,
siswa diberi informasi mengenai pentingnya strategi, dan cara menggunakannya,
serta kesempatan untuk berlatih dan praktik menggunakannya. Pada tahap kedua,
yang disebut retensi, siswa mendapatkan lebih banyak latihan dalam menggunakan
strategi, dan memeriksa ingatan mereka tentang menggunakan strategi tersebut.
Pada fase ketiga, transfer, siswa ddiberi masalah baru ntuk dipecahkan.
Masalah-masalah ini mengharuskan mereka untuk menggunakan strategi yang sama,
tetapi di permukaan masalah baru tampil berbeda.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pemahaman terhadap konsep merupakan aspek penting dalam
kehidupan manusia. Oleh karena itu,
pemahaman konsep harus diajarkan oleh guru kepada siswa dalam kegiatan belajar
mengajar. Dengan demikian
siswa dapat mendefinisikan
obyek yang ada dalam kehidupan sehari-hari dengan pemahaman konsep yang
dibangunnya sendiri. Siswa
diharapkan tidak hanya dapat
menghafalkan sesuatu obyek berdasarkan pengetahuan yang sudah terpola, tetapi
siswa juga mampu
mendeskripsikan obyek dengan penalarannya sendiri.
Dalam hal membantu siswa untuk memahami
konsep suatu obyek, guru
juga harus mampu membantu mengajarkan kepada siswa agar dapat menjadi pemikir yang baik.
Sebab dengan proses berpikir yang baik, siswa dapat membentuk konsep, bernalar
dan berpikir secara kritis, membuat keputusan, berpikir kreatif, dan dapat
memecahkan masalahnya sendiri.
Hal
yang sangat diharapkan dari efek perlakuan tersebut adalah siswa dapat memecahkan
masalahnya sendiri dengan lebih
baik.
Kemampuan siswa dalam memecahkan masalah menjadi
ukuran keberhasilan
seorang guru dalam mengajarkan pemahaman konsep dan proses berpikir yang baik.
Selain itu, hal yang tidak kalah penting dalam pemahaman konsep adalah
bagaimana guru dapat membantu siswa untuk mentransferkan konsep yang
dimilikinya. Transfer dalam pemahaman konseptual dapat diartikan sebagai,
kemampuan sorang siswa dalam mengaktualisasikan
konsep yang dimiliki kedalam situasi yang baru dan nyata. Dan pada titik ini,
ketika siswa mampu mentransferkan
konsep yang dimilikinya, maka itu merupakan ukuran keberhasilan guru dalam
membangun pemahaman konsep kepada siswa. Dengan kata lain, keberhasilan seorang
guru dalam memberikan pemahaman konseptual kepada siswa tergantung dari apakah
siswa tersebut dapat mentransferkan konsep yang dimiliki atau tidak.
Antara pemahaman konseptual, proses
berpikir, pemecahan masalah, dan transfer merupakan empat tahapan dalam proses
kognitif kompleks yang saling
berhubungan satu sama lain. Tidak
dibenarkan jika salah satu tahapan dari proses kognitif kompleks dilewatkan
begitu saja. Semua
harus diajarkan secara kompleks agar siswa dapat dapat lebih baik dalam memecahkan masalahnya
sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Baer, J. 1993. Creativity and Divergent Thinking: A
Task Specific Approach. London: Lawrence Erlbaum Associates Publisher.
Hadis, Abdul. 2006. Psikologi
Dalam Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Santrock, John W. 2014. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Salemba Humanika.
Uno, Hamzah B., Orientasi
Baru Dalam Psikologi Pembelajaran. Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2006.
Winkel, W. S. 2004. Psikologi
Pengajaran cet. 6. Yogyakarta: Media Abadi.
http://aguslistiyono.blogspot.com/2010/10/berpikir-tingkat-tinggi-higher-order.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar